
Deicide kembali dengan agresi old school Death Metal mereka melalui “In The Minds of Evil” (2013) yang walaupun dirilis mendekati holiday season, sudah pasti bukan merupakan Christmas album :-). Foto: http://www.metal-archives.com
Article written by: Riki Paramita
Tahun 2013 pun berlalu dengan sangat cepat. Tidak terasa kita sudah ‘kembali’ berada di penghujung bulan Desember. Atau barangkali hal ini hanya perasaan saya saja, bahwa sang waktu berlalu dengan begitu cepat meninggalkan beberapa agenda yang belum terlaksana sekaligus beberapa progress dan achievement yang sudah tercapai? Dan pada bulan Desember yang penuh dengan hujan dan angin ini (November rain, December storm? :-)) saya ingin melakukan sebuah restrospektif metal untuk tahun 2013 yang sebentar lagi akan berlalu. Terus terang, di 2013 ini rapor Metal saya tidak begitu bagus: tidak satupun gigs Metal yang saya hadiri di tahun ini, termasuk mega concert Metallica yang disebut-sebut sebagai sebuah pengalaman yang bersifat once in a lifetime. Satu2nya gigs yang saya hadiri hanyalah sebuah small stage gigs Roxx di Borneo Beerhouse pada awal Desember ini. Itupun masih harus berpacu dengan deadline pekerjaan sebagai konsultan Teknologi & Manajemen Sistem Informasi yang pada saat itu dapat saya selesaikan di sore hari, sehingga pada malam harinya saya bisa hadir di Borneo Beerhouse. Sekali lagi, aktivitas consulting dengan telak mengalahkan aktivitas Metal. But, I love consulting world. Barangkali kecintaan saya pada dunia consulting-lah yang membuat hari-hari saya terasa berlalu dengan cepat. Yes, it’s been fun and progressively elaborated! 🙂
Berikut adalah album-album Metal rilisan 2013 yang menurut saya paling signifikan (in no order), yang secara efektif menjadi ‘tempat pelarian’ di tengah-tengah kerumitan proyek SAP ERP dan tumpukan literatur cloud computing, serta big data & analytics.
Album #1: DEICIDE – In The Minds of Evil

Apakah ada kebencian yang dapat dikonversikan menjadi sesuatu yang produktif? Apakah productivity by hate bisa menjadi driving force untuk menghasilkan sebuah karya? Jawabannya adalah ‘iya’ apabila pertanyaan ini diajukan ke Glen Benton, sang bassist sekaligus vokalis dari Deicide. Deicide adalah salah satu dari sedikit band di genre Death Metal yang sangat konsisten dalam topik lagu dan tema album, dimana hatred dan blasphemy selalu menjadi topik dari album-album Deicide sejak debut album mereka yang self titled sampai karya mereka dirilis di penghujung 2013 ini: “In The Minds of Evil.” Deicide pasca kepergian Hoffman bersaudara adalah sebuah penurunan yang pelan tapi pasti, dengan “The Stench of Redemption” (2006) sebagai sebuah anomali dimana album ini dapat disejajarkan dengan karya-karya mereka di periode awal. Kepergian Ralph Santolla jelas merupakan sebuah pukulan bagi Deicide, dan kehadiran Kevin Quirion sepertinya belum dapat menggantikan sosok Ralph apalagi melebihi kontribusi Ralph di “The Stench of Redemption.” Akan tetapi melalui rilisan anyar mereka di 2013 ini Deicide seperti kembali menemukan touch mereka dalam bentuk Death Metal yang lebih groovy namun tetap straighforward. Old school style yang cukup menarik perhatian sekaligus minim inovasi. Akan tetapi tentunya kita tidak akan mengharapkan Deicide untuk berinovasi/ bereksperimen untuk menjadi lebih melodius, teknikal, atau progresif tentunya. Ini adalah Deicide, f#$%ing old school Death Metal yang straightforward dan memang sudah seharusnya seperti apa adanya! Get this album and bang your head to the wall! 🙂
Album #2: CARCASS – Surgical Steel

Berbeda dengan Deicide, sang legenda Death Metal asal Inggris, Carcass, melewati tahun 2013 dengan sebuah comeback yang penuh kemenangan dan menjadikan Death Metal seperti sebuah musik yang bersifat mainstream. Penjualan “Surgical Steel” langsung ngebut pada minggu pertama setelah dirilis, dan masuk ke dalam Top 200 US Billboard Chart. Dan kemudian hal yang sama juga terjadi pada Top Chart versi Jerman, Austria, Finlandia, Swedia, Belanda, Belgia, Perancis, Inggris, dan Irlandia, dimana “Surgical Steel” berhadap-hadapan langsung dengan rilisan-rilisan mainstream seperti Gregorian, Jack Johnson, dan Elton John! Carcass dalam hal ini barangkali juga sudah menjadi mainstream. Pada era sekarang dimana band seperti Slayer dan Watain bisa mendapatkan Grammy awards, tentunya pencapaian Carcass bukanlah sesuatu yang baru atau mengejutkan. Carcass melalui “Surgical Steel” memberikan bukti bahwa sebuah karya musik yang berkelas walaupun dalam format yang relatif ekstrim masih akan mendapatkan apresiasi yang layak dari publik. “Surgical Steel” adalah sebuah rilisan yang sangat brilian. Sama sekali tidak memperlihatkan seperti rilisan come back dari band yang sudah hiatus selama 17 tahun, melalui sound mereka yang masih sangat original, modern, dengan musicianship yang berkelas. Kekuatan album ini adalah terletak di permainan gitaris Bill Steer baik berupa rhythm maupun lead. Bill sepertinya berhak mengklaim tempatnya sebagai salah satu yang terbaik di domain Melodic Death Metal dan berdiri sejajar dengan Michael Amott, mantan rekannya di Carcass.
Album #3: SUFFOCATION – Pinnacle of Bedlam

“Pinnacle of Bedlam” adalah album terbaik Suffocation sejak “Pierced from Within” (1995). Inovasi musik yang terukur telah menjadi kunci bagi Suffocation untuk tetap eksis dan mengkokohkan posisi mereka sebagai literatur Death Metal di abad 21 ini. Suffocation, sang professor Death Metal masih menjadi sumber ilmu pengetahuan yang valid dan representatif bagi para ABG yang memainkan Deathcore yang secara analogis merupakan mahasiswa-mahasiswa yang bandel :-). Melalui album ini, Suffocation tengah berevolusi ke arah yang cenderung sangat teknikal, dan area ini memang menuntut production yang sangat clean: sehingga riffing gitar Guy Marchais dapat berjalan dengan harmonis bersama-sama dengan solo Terrance Hobbs, yang koheren dengan permainan bass Derek Boyer dan drumming Dave Culross yang memberikan pelajaran bagaimana sebuah track Death Metal dengan presisi tinggi dimainkan.
Album #4: FUNERAL INCEPTION – In Praise of Devastation

Funeral Inception – “In Praise of Devastation” (2013) adalah memenuhi semua persyaratan untuk berada di dalam kategori album Death Metal yang berkelas: production yang well engineered, dan musikalitas yang sangat baik dari para band member dalam memformulasikan aksi Death Metal yang brutal namun terukur, lewat permainan tempo yang bervariasi, lead guitar yang melodius yang menjadi penyeimbang agresi pada rhythm dan ketukan blast beats, sehingga dapat ‘keluar’ dari kemonotonan dan kesan repetitif yang seringkali menjadi permasalahan klasik untuk sebuah album Death Metal, terutama dari scene lokal. Dan tentu saja, agresi dari vokal growl Doni Herdaru Tona, sang penyair Death Metal, yang membuat panggung Death Metal tidak hanya penuh dengan agresi, akan tetapi juga menjadi berisi dengan lirik-liriknya yang cerdas yang mendorong para pendengar untuk merenung dan bercermin ke dalam diri sendiri. Get this album, love your cats :-), & support The Funeral!
Album #5: VALLENDUSK – Black Clouds Gathering


Dan perhatikanlah Vallendusk. Lihatlah band ini secara utuh dalam karya-karya mereka baik dari segi musik maupun artwork album. Dan telinga serta mata orang awam sekalipun akan dapat melihat bahwa semuanya mendekati sempurna: dimulai dari nama “Vallendusk” itu sendiri yang terdengar elegan, logo “V” mereka, artwork album yang sangat teduh, foto personil yang artistik dan indah tanpa berusaha keras menampilkan kesan “hey kami Black Metal loh”, judul2 lagu mereka yang menyiratkan intelegensia dalam pemilihan kata2 (“Among The Giants”, “To Wander and Beyond”, “Fragments of Light”), dan tentu saja karya mereka dalam bentuk musik yang tidak lazim untuk ukuran skena Black Metal lokal: atmospheric Black Metal dengan production yang sangat baik. Setiap riffing gitar seolah-olah bernyawa dan ikut bercerita tentang dunia Vallendusk yang misterius, tertutup kabut, dengan sekilas cahaya matahari yang tertutup awan mendung. Terkadang terdengar murung dan sedih, akan tetapi pada kesempatan lain memunculkan amarah dan bahkan suasana epik yang penuh kemenangan. Di tengah-tengah suasana di skena Black Metal lokal yang cenderung untuk bertempo cepat dan menampilan gimmick yang evil, adalah sangat menyegarkan untuk melihat band seperti Vallendusk yang secara berani mengambil langkah yang tidak lazim untuk berkarya dan berdedikasi di jalur atmospheric Black Metal. Truthfully, saya bukanlah fans untuk jenis Black Metal seperti yang dimainkan oleh Vallendusk. Akan tetapi sangatlah sulit untuk menolak karya mereka yang seperti mendekati sebuah kesempurnaan.
Album #6: SATYRICON – Self Titled & Album #7: IHSAHN – Das Seelenbrechen
Sebuah pertanyaan klasik: apakah yang disebut dengan Black Metal? Apabila kita bertanya ke 10 orang stakeholder di domain Black Metal, maka kita akan memperoleh 17 jawaban. 🙂 Untuk mengkonstruksikan jawaban yang valid barangkali cukup representatif untuk mencari jawabannya dengan melihat kiprah 3 orang innovator di skena Black Metal dunia, terutama pada 2nd wave untuk genre ini yang seringkali disebut dengan Norwegian Black Metal. Mari kita melihat masing2 kiprah dari Infernus, Satyr, dan Ihsahn.
Figur pertama adalah Infernus (aka. Roger Tiegs), sang founding father dan gitaris Gorgoroth yang kebetulan namanya sering disebut di blog ini. 🙂 Infernus adalah representasi dari para purist: memakai corpse paint, asesoris paku, musik dengan norma-norma tertentu (dimana masih ada benang merah yang secara representatif terlihat dari rilisan pertama, “Pentagram” (1994) sampai yang terakhir “Under The Sign of Hell 2011” (2011)). Musik dengan aura evil, sound gitar dan perkusi yang kasar, dengan vokal seperti Gollum yang sedang disiksa (atau marah2, terserah :-)), dan penampilan fisik para musisinya yang terlihat seperti para orc yang sedang menuju medan perang.
![]()
Figur kedua adalah Satyr (aka Sigurd Wongraven) dari Satyricon. Satyr adalah pelantun tembang “Mother North” yang menjadi war anthem Norwegian Black Metal terhadap ajaran trinity dari Timur Tengah. Di era-era awal, musik dan gimmick dari Satyr dan band-nya Satyricon adalah mirip dengan Gorgoroth, akan tetapi Satyricon dan Satyr sendiri mengalami evolusi yang pelan tapi pasti dalam mengeksplorasi sound2 yang baru dan menembus batas Black Metal. Dan pada 2013 ini musiknya Satyricon hanya menyisakan vokal Satyr yang masih ‘memenuhi’ kriteria Black Metal secara tradisional. Musiknya Satyricon secara berani mengadopsi elemen-elemen yang secara tradisional berada di luar norma-norma Black Metal: riffing gitar yang melodius dan dalam beberapa bagian malah seperti Hard Rock dan Heavy Metal, serta penggunaan clean vocals dalam porsi yang relatif signifikan, dan tidak hanya muncul secara diskret (pada track “Phoenix”). Dari segi penampilan pun Satyr sudah sangat berbeda: Satyr kerap tampil di panggung maupun video clip dengan sangat modis dalam balutan busana keluaran rumah mode high end, dengan grooming yang sangat tertata. Gimmick yang seperti orc sepertinya sudah berganti dengan elf yang penuh estetika. “Our opinion of Black Metal is probably very different to most so called purist”, Satyr menegaskan mengenai sudut pandangnya yang sangat berbeda dengan kalangan (yang merasa) purist di domain Black Metal.

Bagaimana dengan Ihsahn? Ihsahn (aka Vegard Sverre Tveitan) adalah figur yang paling ekstrim dalam menembus batasan Black Metal: riffing gitar yang Hard Rock style, pendekatan progresif, eksploitasi clean vocals, dan penggunaan saksofon di dalam musiknya (seperti pada album sebelumnya yaitu “Eremita” (2012)). Album solo Ihsahn yang dirilis di 2013 ini, “Das Seelenbrechen” (“The Breaking of Soul”) seakan menjadi sebuah blueprint baru untuk Neo Black Metal atau Post Black Metal yang cenderung absurd, abstrak, penuh noise, avant garde, dan tidak berbatas (catatan: dalam banyak literatur format bermusik Ihsahn disebut dengan Progressive Extreme Metal, dengan beberapa influence Black Metal). “I don’t think Black Metal is a sound, it’s an attitude”, kata Ihsahn mengenai progresivitas musiknya. “Dash Seelenbrechen” seolah ‘menantang’ para purist untuk secara berani menempuh jalan-jalan baru yang sebelumnya tidak pernah ditempuh oleh mindset Black Metal tradisional: seperti sebuah versi yang lebih gelap dan depresif dari Ulver – “Perdition City” (2000). Get this album and be enlightened!
Bersambung ke bagian 2.

Untuk 2 album terakhir , sepertinya terms musik Blackmetal itu seperti apa memang semakin bias, seiring dengan perkembangan waktu dan efek akulturisasi dengan genre musik lain , juga dengan pendewasaan dari sisi musikalitas sang musisi sendiri.
Satyr dan Ihsahn sudah membuktikan di 2 rilisan tersebut, dan mencoba keluar dari batasan batasan bahwa blackmetal harus begini, harus begitu ..mereka memang icon blackmetal dan para fans pun berharap bahwa satyr kembali ke era nemesis divina dan Ihsahn pun membuat musik ala IX equillibrium . Tapi biasanya sisi musikalitas seseorang pasti akan terus bereksplorasi , tidak berhenti di satu sisi tersebut . Hal inilah yang menjadikan blackmetal akan terus berevolusi , bagai bola es yang makin lama menggelinding makin besar dan luas dengan berbagai macam kompleksitas di dalamnya..
tidak menutup kemungkinan nantinya banyak yang akan bertanya, ” blackmetal” itu musik kayak gimana sih ? musiknya lho yah .. bukan merch nya 😀