MEGADETH – “Super Collider” (2013): Sebuah Album yang ‘Super Membingungkan’

Megadeth-Super Collider

Reviewed by: Riki Paramita

Seperti kebanyakan Metalhead yang seusia dengan saya, perkenalan saya dengan MEGADETH adalah di album “Rust in Peace” (1990), saat saya masih duduk di bangku SMP. “Rust in Peace” adalah sebuah album yang ambisius, dengan guitar showdown yang seperti ingin membuktikan sesuatu. Megadeth plus album “Rust in Peace” langsung masuk ke dalam preferensi utama saya bersama-sama dengan album yang seangkatan seperti Metallica – “…And Justice for All” (1988) dan Anthrax – “Persistence of Time” (1990). Perasaan kaget sekaligus penuh apresiasi adalah sangat dominan ketika mendengarkan “Countdown to Extinction” (1992) untuk pertama kalinya. Sebuah pergantian soundscape yang tidak selalu berhasil. Masih ada beberapa bagian yang belum mature, akan tetapi secara keseluruhan album ini masih dapat saya terima (Catatan: “Sweating Bullets” adalah track Megadeth yang paling tidak bisa saya nikmati, dan sebaliknya “Symphony of Destruction” dan “Foreclosure of a Dream” adalah salah satu dari yang terbaik. Sebuah album yang mixed up). Akan tetapi perbaikan sangat terasa pada rilisan2 berikutnya yang merupakan bagian dari soundtrack film, yaitu “Angry Again” dan “99 Ways to Die.” Puncaknya adalah “Youthanasia” (1994) yang sangat megah. Tidak ada track yang bernilai ‘baik.’ Semuanya adalah ‘sangat baik’ dan ‘yang terbaik’ dimulai dari “Reckoning Day” sampai “Killing Road.” Akan tetapi rilisan-rilisan berikutnya seperti “Cryptic Writings” (1997) dan “Risk” (1999) adalah sebuah eksplorasi yang asing bagi saya.

Megadeth 2013

Megadeth, formasi 2013: David Ellefson, Shawn Drover, Dave Mustaine, Chris Broderick.

Hal yang kurang lebih sama terjadi dengan “The World Needs a Hero” (2001) dan “The System Has Failed” (2004): masih dipenuhi oleh quality riffing dan lead, akan tetapi sepertinya saya memang kurang cocok dengan gayanya Al Pitrelli dan Chris Poland. Pada titik ini saya lebih tertarik untuk mendengarkan rilisan-rilisan klasik mereka, termasuk para predecessor “Rust in Peace” (dimana masih ada Chris, tetapi dengan gaya yang sangat berbeda). Kemudian situasi berbalik ketika “United Abominations” (2007) dimana saya ikut berteriak-teriak ketika mendengarkan album ini untuk pertama kalinya. Megadeth kembali ke komposisi musik dan tempo yang tepat dalam mengiringi vokal ‘marah’ dan ‘murung’ Dave Mustaine. Sebuah batu loncatan untuk “Endgame” (2009) yang brilian. Sejak dari intro “Dialectic Chaos” saya sudah dapat melihat bahwa “Endgame” adalah album yang akan mengembalikan kebesaran Megadeth. Chris Broderick seperti mempunyai segala sesuatu yang dibutuhkan untuk membuat para fans mengucapkan, “Marty, who?” Pada titik ini Megadeth adalah lebih baik dari koleganya yang sebelumnya merilis “Death Magnetic” (2008). Momentum ini kembali berlanjut pada “Th1rt3en” (2011), sebuah kombinasi antara riff yang agresif dan lead yang rumit. Berangkat dari sini, Megadeth seperti apakah yang terdapat di dalam “Super Collider” (2013)?

Chris Broderick

Chris Broderick on stage.

“Super Collider” dibuka dengan “Kingmaker” yang bertempo cepat dengan riff2 gitar yang agresif khas Megadeth. Sebuah track yang sepertinya mengikuti pola generik pada “Th1rt3en” akan tetapi dengan agresivitas yang lebih terukur. Track berikutnya “Super Collider” adalah sebuah track yang tergolong ringan untuk ukuran Megadeth, masih dengan riff dan lead yang berkelas akan tetapi sepertinya Megadeth berusaha untuk menjadi lebih easy listening. Hasilnya adalah sebuah sound yang relatif asing untuk saya: apakah ini modern sound dari Megadeth? Vokal Dave Mustaine bisa diikuti seperti layaknya sebuah sing along song, hal ini biasanya agak sulit pada rilisan sebelumnya karena Dave Mustaine cenderung untuk bernyanyi dengan style yang datar :-). Dave Mustaine kembali pada pola vokal ngedumel-nya pada “Burn!” dan “Built for War” (kalau yang ini sampai berteriak) yang dikawal dengan sangat baik oleh permainan Chris Broderick. Track berikutnya “Off The Edge” cenderung datar dan nyaris tanpa memorable moments. Tiga track terakhir sampai sejauh ini telah membuat album ini menjadi cukup sulit buat saya :-(. “Dancing in The Rain” mempunyai nuansa yang sedikit berbeda, di sini kita akan merasakan ‘kemurungan’ ala “A Tout La Monde” walaupun dengan style yang lebih agresif, dengan lirik yang cukup memorable. “You better learn to dance in the rain, instead of wait for the sun, learn to dance in the rain, the sun will never come.” Cukup tragis, yang kemudian diikuti dengan agresi pada 03:33 sampai berakhirnya lagu.

Megadeth-Super Collider 01

Track berikutnya “Beginning of Sorrow” terdengar sangat depresif: baik vokal Dave Mustaine maupun sound gitarnya. “The Blackest Crow” adalah sebuah eksperimen dengan memasukkan beberapa unsur musik Country. Sebuah eksperimen yang terdengar aneh akan tetapi cukup berhasil dalam menambah nuansa suram dan kesedihan pada track ini. Sampai titik ini, Megadeth – “Super Collider” sudah menjadi sangat sulit untuk saya pahami :-(. Suasana menjadi sedikit cerah ketika memasuki riff pembuka pada “Forget to Remember.” Sebuah track yang cukup menyegarkan mengingat suasana murung dan depresif yang begitu kentara pada track2 sebelumnya. Track berikutnya “Don’t Turn Your Back…” kembali ke riffing gitar yang agresif khas Megadeth dengan lirik yang ‘dalam’: “and still we try to pretend, that you will be here in the end, the best advice that I can lend, don’t ever turn your back on a friend.” Seperti sebuah nasehat dari Dave Mustaine untuk kita semua :-). Track penutup adalah “Cold Sweat” yang merupakan cover version dari Thin Lizzy, yang dibawakan dengan sangat baik oleh Megadeth: sebuah kombinasi antara spontanitas ala Thin Lizzy dengan agresi ala Megadeth. Sebuah track yang justru terdengar lebih baik dari kebanyakan track di album ini! 😦

Megadeth-Super Collider 02

Sepertinya sudah jelas, bahwa Megadeth mengambil arah yang sangat berbeda apabila dibandingkan dengan “Th1rt3en” apalagi “Endgame.” Megadeth – “Super Collider” mempunyai track2 yang masih menarik untuk didengarkan akan tetapi tidaklah cukup menarik untuk disimak berkali-kali. Sepertinya memang dibutuhkan waktu untuk memahami arah Megadeth yang baru ini. Barangkali analoginya adalah mirip dengan “Countdown to Extinction”: sebagai sebuah album transisi untuk album berikutnya yang lebih mature.

Sepertinya saya setuju dengan sebuah lelucon yang tidak lucu yang mengatakan bahwa rilisan terbaru yang disebut-sebut sebagai yang terbaik dari para Big 4 adalah Testament – “Dark Roots of Earth” (2012). Funny? No? 😦

Line Up:

  • David Ellefson – Bass
  • Dave Mustaine – Guitars, Vocals
  • Shawn Drover – Drums
  • Chris Broderick – Guitars

Tracks:

  • Kingmaker – 04:16
  • Super Collider – 04:12
  • Burn! – 04:11
  • Built for War – 03:57
  • Off the Edge – 04:11
  • Dance in the Rain – 04:45
  • Beginning of Sorrow – 03:51
  • The Blackest Crow – 04:27
  • Forget to Remember – 04:28
  • Don’t Turn Your Back… – 03:47
  • Cold Sweat (Thin Lizzy cover) – 03:10

Categorised as: Heavy Metal

Leave a comment