MEGADETH – “Super Collider” (2013): Sebuah Album yang ‘Super Membingungkan’

Megadeth-Super Collider

Reviewed by: Riki Paramita

Seperti kebanyakan Metalhead yang seusia dengan saya, perkenalan saya dengan MEGADETH adalah di album “Rust in Peace” (1990), saat saya masih duduk di bangku SMP. “Rust in Peace” adalah sebuah album yang ambisius, dengan guitar showdown yang seperti ingin membuktikan sesuatu. Megadeth plus album “Rust in Peace” langsung masuk ke dalam preferensi utama saya bersama-sama dengan album yang seangkatan seperti Metallica – “…And Justice for All” (1988) dan Anthrax – “Persistence of Time” (1990). Perasaan kaget sekaligus penuh apresiasi adalah sangat dominan ketika mendengarkan “Countdown to Extinction” (1992) untuk pertama kalinya. Sebuah pergantian soundscape yang tidak selalu berhasil. Masih ada beberapa bagian yang belum mature, akan tetapi secara keseluruhan album ini masih dapat saya terima (Catatan: “Sweating Bullets” adalah track Megadeth yang paling tidak bisa saya nikmati, dan sebaliknya “Symphony of Destruction” dan “Foreclosure of a Dream” adalah salah satu dari yang terbaik. Sebuah album yang mixed up). Akan tetapi perbaikan sangat terasa pada rilisan2 berikutnya yang merupakan bagian dari soundtrack film, yaitu “Angry Again” dan “99 Ways to Die.” Puncaknya adalah “Youthanasia” (1994) yang sangat megah. Tidak ada track yang bernilai ‘baik.’ Semuanya adalah ‘sangat baik’ dan ‘yang terbaik’ dimulai dari “Reckoning Day” sampai “Killing Road.” Akan tetapi rilisan-rilisan berikutnya seperti “Cryptic Writings” (1997) dan “Risk” (1999) adalah sebuah eksplorasi yang asing bagi saya. Continue reading