MORBID ANGEL – “Illud Divinum Insanus” (2011): Sebuah Eksperimen yang Gagal atau Sebuah Inovasi yang Masih ‘On Progress’?

Morbid Angel - Illud Divinum Insanus

Article Written by: Riki Paramita

Sudah lebih 2 tahun berlalu sejak dirilisnya “Illud Divinum Insanus” sebagai full length album ke-8 dari sang raksasa Death Metal, Morbid Angel. Akan tetapi gaung kebencian para fans Death Metal terhadap album ini belumlah surut, sebuah bashing yang sama dalamnya (explicitly) dengan kasus Cryptopsy – “The Unspoken King” (2008) dengan skala yang kurang lebih sama dengan kasus Metallica – “St. Anger” (2003). Hal ini tidaklah mengherankan karena Morbid Angel adalah band yang sangat berpengaruh di scene Death Metal dan termasuk ke dalam kelompok yang dikategorikan innovator untuk kelahiran genre ini di pertengahan dan akhir 80-an, disamping status mereka sebagai salah satu yang paling sukses secara komersial. Jadi, Morbid Angel adalah sebuah band dengan status cult di underground, akan tetapi juga sekaligus bersifat mainstream dan komersil. “Illud Divinum Insanus” dihujat oleh para fans Death Metal: para purist yang tidak rela kalau Morbid Angel memasukkan unsur-unsur eksperimen ke dalam album terbaru mereka. Eksperimen di sini, seperti kita ketahui, bukanlah dalam bentuk memperbanyak porsi gitar solo yang melodius atau accoustic sound yang cenderung lebih dapat diterima para fans, melainkan dalam bentuk perpaduan elemen Industrial/ Techno ke dalam distorsi gitar, vokal growl, dan ketukan drum yang tradisional Death Metal. Para fans tidak rela kalau Morbid Angel yang merupakan ‘panutan’ di ranah Death Metal malah terdengar seperti Rammstein, Nine Inch Nails, atau Godflesh. Continue reading

FUNERAL INCEPTION – “In Praise of Devastation” (2013): Sebuah Puisi Kritik Sosial Dari Sang Penyair Death Metal

Funeral Inception-In Praise

Reviewed by: Riki Paramita

Kurang lebih sudah 5 tahun berlalu sejak “H.A.T.E.” yang monumental sekaligus kontroversial. Ketika FUNERAL INCEPTION, sang pentolan Death Metal dari Jakarta, mempertanyakan asumsi-asumsi yang kadung dipercayai, mempertanyakan pertanyaan yang sepertinya tidak boleh ditanyakan, ketika Doni Herdaru Tona, sang vokalis, lewat vokal growl-nya yang garang mempertanyakan ketidakmampuan kita untuk bertoleransi di tengah-tengah majemuknya masyarakat kita. Ketika Funeral Inception secara berani meneriakkan bahwa sesungguhnya kita telah menjadikan sebuah pemikiran yang penuh dengan ajaran toleransi sebagai landasan untuk malah bersikap intoleran terhadap perbedaan. Ketika Doni Herdaru Tona, yang ibarat seorang penyair dari sebuah rumah puisi, meneriakkan dengan bahasa analogi bahwa kita telah memutarbalikkan sebuah ajaran yang sangat mulia  sebagai alat untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan kerakusan dan pemenuhan hawa nafsu, sehingga memutarbalikkan definisi ‘hina’ dan ‘mulia’ yang dideskripsikan dengan bahasa simbolis (sekali lagi, dalam bahasa simbolis, karena ‘man’s best friend’ sama sekali bukan makhluk hina). Continue reading

DREAM THEATER – “Dream Theater” (2013, Self Titled): Progressive Metal untuk Fans Non Progressive Metal

Dream Theater-S:T

Reviewed by: Riki Paramita

DREAM THEATER self titled dibuka dengan “False Awakening Suite”, sebuah intro instrumental yang sangat megah, bernuansa epic, dan terdengar seperti soundtrack dari sebuah film action atau adventure. Sebuah intro yang seolah-olah merupakan sebuah peringatan untuk ‘fasten your seat belt’ sebelum memasuki petualangan dan pengalaman Dream Theater (The Dream Theater experience) yang sama sekali baru. Dilihat dari komposisi dan pemilihan sound dari “False Awakening Suite”, sepertinya track ini memang dipersiapkan untuk menjadi intro/ track pembuka untuk gigs mereka yang dimulai di Januari 2014 depan. Sebuah intro yang menimbulkan ekspektasi yang tinggi untuk album self titled ini secara keseluruhan. Continue reading

SUFFOCATION – “Pinnacle of Bedlam” (2013): Album Terbaik Mereka Sejak “Pierced from Within” (1995)

Suffocation-Pinnacle of Bedlam

Reviewed by: Riki Paramita

Kalender pada saat itu menunjukkan angka tahun 1991: sebuah tahun yang sangat signifikan dalam perkembangan Death Metal dunia. Pada saat itu saya adalah seorang Metalhead yang masih duduk di bangku SMA dan baru saja mengalami pergeseran paradigma Metal dari Thrash Metal yang Metallica minded, ke arah yang lebih absurd seperti British Grindcore dan Floridian Death Metal (American Death Metal). Pada saat itu saya sudah dapat ‘menerima’ Death Metal dengan paradigma Morbid Angel-ism. Album Morbid Angel – “Altars of Madness” adalah salah satu favorit pada playlist saya pada saat itu selain Sepultura – “Arise” (1991), Slayer – “Decade of Aggression – Live” (1991), dan (tentu saja) Metallica black album (1991). Saya tidak menyangka bahwa paradigma Death Metal yang Morbid Angel-ism ternyata masih harus dikoreksi dengan konsep New York Death Metal melalui sebuah album yang merupakan sebuah blueprint sekaligus masterpiece di genre ini, yaitu SUFFOCATION – “Effigy of The Forgotten” (1991). “Effigy…” adalah sebuah album yang sangat dahsyat: sound gitar dan drum yang sekilas seperti mendengarkan laju kereta api dari jarak dekat, plus vokal growl yang sangat deep dan indecipherable (adik saya yang pada saat itu sudah familiar dengan Carcass dan Napalm Death menyebut style vokal Suffocation ini sebagai ‘doggy style’ karena memang sama sekali tidak terdengar seperti suara manusia :-)) . Sejujurnya, dibutuhkan waktu sampai beberapa tahun kemudian bagi saya untuk dapat ‘menerima’ album ini. Continue reading

MEGADETH – “Super Collider” (2013): Sebuah Album yang ‘Super Membingungkan’

Megadeth-Super Collider

Reviewed by: Riki Paramita

Seperti kebanyakan Metalhead yang seusia dengan saya, perkenalan saya dengan MEGADETH adalah di album “Rust in Peace” (1990), saat saya masih duduk di bangku SMP. “Rust in Peace” adalah sebuah album yang ambisius, dengan guitar showdown yang seperti ingin membuktikan sesuatu. Megadeth plus album “Rust in Peace” langsung masuk ke dalam preferensi utama saya bersama-sama dengan album yang seangkatan seperti Metallica – “…And Justice for All” (1988) dan Anthrax – “Persistence of Time” (1990). Perasaan kaget sekaligus penuh apresiasi adalah sangat dominan ketika mendengarkan “Countdown to Extinction” (1992) untuk pertama kalinya. Sebuah pergantian soundscape yang tidak selalu berhasil. Masih ada beberapa bagian yang belum mature, akan tetapi secara keseluruhan album ini masih dapat saya terima (Catatan: “Sweating Bullets” adalah track Megadeth yang paling tidak bisa saya nikmati, dan sebaliknya “Symphony of Destruction” dan “Foreclosure of a Dream” adalah salah satu dari yang terbaik. Sebuah album yang mixed up). Akan tetapi perbaikan sangat terasa pada rilisan2 berikutnya yang merupakan bagian dari soundtrack film, yaitu “Angry Again” dan “99 Ways to Die.” Puncaknya adalah “Youthanasia” (1994) yang sangat megah. Tidak ada track yang bernilai ‘baik.’ Semuanya adalah ‘sangat baik’ dan ‘yang terbaik’ dimulai dari “Reckoning Day” sampai “Killing Road.” Akan tetapi rilisan-rilisan berikutnya seperti “Cryptic Writings” (1997) dan “Risk” (1999) adalah sebuah eksplorasi yang asing bagi saya. Continue reading

ROXX – “Jauh dari Tuhan” (EP, 2012): Sebuah Batu Loncatan Untuk Bergema Lebih Keras Lagi

Roxx-Jauh Dari Tuhan

Article written by: Riki Paramita

Sebenarnya saya sangat berharap bahwa ROXX yang akan mendapatkan kesempatan untuk menjadi opening act Metallica tempo hari. Ada banyak alasan yang valid untuk hal ini: dimulai dari sejarahnya Roxx sebagai band yang diinspirasikan oleh Metallica, sebagai pelopor kostum hitam-hitam, sebagai komposer dari anthem para Rocker dan Metalhead di tanah air (“Rock Bergema”, walaupun track ini terdengar ‘kurang Metal’ :-)), dan sebagai salah satu role model yang representatif untuk sebuah band Heavy Metal di tanah air. Singkat cerita, Roxx adalah sebuah icon Heavy Metal di tanah air. Akan tetapi sepertinya Roxx belumlah mempunyai gema yang cukup kuat, sehingga kesempatan sebagai opening act Metallica kemudian didapatkan oleh Arian dan teman-temannya dari Seringai. Seringai adalah sebuah band yang sangat brilian, dan Arian sendiri secara individu adalah pribadi yang sangat cerdas dan sangat mengerti bidangnya, seorang man of culture versi Rock N’ Roll. Arian dan Seringai adalah lebih dari pantas untuk berada satu panggung dengan Metallica, dan mereka telah membuat kita semua bangga sebagai Metalhead Indonesia melalui penampilan mereka yang apik, berenergi, sekaligus menginspirasi. Ironisnya, Arian dan kawan-kawan adalah band yang sangat mengidolakan Roxx dan menjadikan Jaya dan kawan-kawan sebagai role model mereka dalam bermusik. Musik memang bukanlah sebuah ajang kompetisi melainkan lebih sebagai bahasa universal yang dapat mempersatukan orang-orang dengan latar belakang kultur dan budaya yang berbeda ke dalam sebuah brotherhood. Akan tetapi sepertinya tongkat estafet itu memang sudah diserahkan ke generasi berikutnya. Continue reading

CARCASS – “Surgical Steel” (2013): Kembalinya Sang Legenda British Death Metal

Carcass-Surgical Steel

Reviewed by: Riki Paramita

CARCASS is back! Sang legenda British Death Metal telah kembali dengan album terbarunya “Surgical Steel.” Penjualan album ini langsung ngebut pada minggu  pertama setelah dirilis, dan masuk ke dalam Top 200 US Billboard Chart. Dan kemudian hal yang sama juga terjadi pada Top Chart versi Jerman, Austria, Finlandia, Swedia, Belanda, Belgia, Perancis, Inggris, dan Irlandia, dimana Carcass – “Surgical Steel” berhadap-hadapan langsung dengan rilisan-rilisan mainstream seperti Gregorian, Jack Johnson, dan Elton John! Carcass dalam hal ini barangkali juga sudah menjadi mainstream. Pada era sekarang dimana band seperti Slayer dan Watain bisa mendapatkan Grammy awards, tentunya pencapaian Carcass bukanlah sesuatu yang baru atau mengejutkan. Akan tetapi, bagi saya pencapaian mereka masih terasa luar biasa dan sangat personal karena rasanya ‘masih seperti kemaren’ ketika pertama kali saya mendengarkan “Exhume to Consume” dari Carcass, yaitu pada tahun 1991. Barangkali terlalu berlebihan untuk menyebut even yang terjadi 22 tahun yang lalu sebagai ‘seperti kemaren’, akan tetapi saya masih ingat dengan jernih hari itu, suatu hari dimana saya mendengarkan Morbid Angel – “Chapel of Ghouls”, Napalm Death – “Malicious Intent”, dan Carcass – “ Exhume to Consume” untuk pertama kalinya. Suatu hari yang sangat shocking bagi saya (karena telinga saya yang pada saat itu sangat Metallica minded, dihajar habis-habisan oleh growl vocals dan blast beats, serta pola musik yang aneh) dan merubah peta preferensi musik saya, sampai sekarang. Continue reading

GOD SEED – “I Begin” (2012): Menyimak Kiprah dari ‘Gorgoroth Perjuangan’

God Seed-I Begin

Reviewed by: Riki Paramita

Dan keputusan pengadilan pun sudah bulat. Hari itu, pada 10 Maret 2009, pengadilan di Norwegia (Oslo District Court) menetapkan keputusan mengenai hak cipta dan hak paten terhadap nama “Gorgoroth”: Infernus (Roger Tiegs) diputuskan sebagai pemegang hak paten yang sah terhadap nama Gorgoroth dan dengan begitu hak paten yang sebelumnya didaftarkan atas nama King ov Hell (Tom Cato Visnes) dan Gaahl (Kristian Espedal) menjadi invalid. Pengadilan memutuskan bahwa Infernus adalah pemilik sah dari nama Gorgoroth dan keterlibatan Infernus di Gorgoroth adalah sesuatu yang mutlak dimana tidak mengikutsertakan Infernus di dalam aktivitas Gorgoroth adalah bertentangan dengan undang-undang paten di Norwegia kecuali hal tersebut adalah keputusan pribadi dari Infernus sendiri. Bagi King ov Hell dan Gaahl, hal ini adalah seperti melakukan stage diving akan tetapi kemudian para penonton justru menghindar dan mereka jatuh ke lantai venue dengan kepala terlebih dahulu: menyakitkan sekaligus memalukan. Continue reading

Dari IMPISH ke WARKVLT: Sebuah Cerita Tentang Progressive Elaboration dan Change Management Versi Black Metal

Desecrator on stage

Desecrator, gitaris dari Warkvlt. Salah satu agresi Black Metal dari Bandung.

Article written by: Riki Paramita

Pada hari Selasa (02.09.13) dan Rabu (03.09.13) yang lalu saya berkesempatan untuk hadir di even Project Management Institute (PMI) Indonesia Chapter yaitu The 3rd International Project Management Symposium & Exhibition (Symex) yang diadakan di The Hilton Bandung. Sebuah acara yang menjadi ‘kewajiban’ bagi setiap penyandang sertifikasi Project Management Professional (PMP®) untuk menambah Personal Development Unit (PDU), saling berbagi pengalaman di bidang manajemen proyek, dan mengembangkan networking. Ada banyak sekali pelajaran dan inspirasi yang bisa didapat dari para pembicara yang tampil: mulai dari akademisi seperti Prof. George Ofori dari NUS, sampai ke para praktisi seperti Amro Elakkad, Robert Gan, Helen Telford, dan Markus Walter. Akan tetapi saya tidak menyangka bahwa pelajaran mengenai manajemen proyek akan terus berlangsung setelah sesi Symex selesai, dimana saya bertemu dengan Desecrator, gitaris WARKVLT, sebuah band Black Metal dari Bandung, di Purnawarman Resto, The Hilton Bandung. Continue reading