10 Alasan Kenapa Para Metalhead Sejati (Seperti Anda) Membutuhkan BABYMETAL

BABYMETAL (Yui Mizuno, Suzuka Nakamoto, Moa Kikuchi): sebuah fusion yang ganjil antara Heavy Metal, kultur kawaii idol, dan girl band. Foto: babymetal.net

Babymetal, live di Wembley Stadium (2016). Foto: babymetal.net

Article written by: Riki Paramita

Ketika kontroversi BABYMETAL muncul di sekitar 2013 dan 2014 silam, saya pada saat itu berpendapat bahwa hal tersebut hanyalah sensasi dan hype belaka yang akan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Akan tetapi yang semula hanya dianggap sebagai sensasi dan hype malah menjadi persisten. Babymetal mulai mendapatkan dukungan dari para musisi senior di ranah Heavy Metal dan turunannya: tidak kurang dari Metallica, Megadeth, sampai Alice Cooper dan Rob Halford menyatakan dukungan ‘terbuka’ untuk eksistensi Babymetal. Babymetal juga mendapatkan award prestisius seperti Kerrang! Award dan MTV Music Award. Babymetal tampil sepanggung dengan mulai dari Guns N’ Roses sampai Metallica! Babymetal tampil di depan 50-an ribu crowd di station Wembley. Babymetal eksis di tangga album Billboard 200. Dan kemudian apa yang diinisiasikan oleh Babymetal berkembang menjadi sub-genre Kawaii Metal (‘Cute Metal’) dimana mulai bermunculan band-band sejenis dengan style ini (misalnya, ada Pritz, sebuah band ‘Babymetal dari Korea’). Akhirnya saya sadar: Babymetal tidaklah dapat dihentikan (unstoppable)! Dan saya tidak dapat lagi menyangkal eksistensi dan dampak yang mereka timbulkan. Bersama tulisan kali ini saya berusaha (sekali lagi, berusaha) untuk mencari sisi positif dari eksistensi Babymetal. Apabila dalam beberapa bagian terdengar seperti sebuah lelucon sarkastik, skeptis, dan ‘kurang ikhlas’, harap dimaafkan. Karena memang demikian adanya. 😀 Berikut adalah 10 alasan ‘pembenaran’ terhadap keberadaan Babymetal dan dampak positifnya terhadap anda – para Metalhead sejati.

Continue reading

Menyimak Aksi Sang Iblis Norwegia di Atas Panggung: GORGOROTH Live di Hammersonic 2016, Jakarta

Gorgoroth Live 15Reported by: Riki Paramita

  • Event: Hammersonic – Jakarta International Metal Festival 2016
  • Venue/ Tanggal: Ancol Ecopark Jakarta/ 17 April 2016
  • Event Organizer: Hammersonic Festival

Waktu pada saat itu sudah menunjukkan pukul 19:15 WIB. Sementara saya masih ‘terperangkap’ di panggung indoor Soul of Steel di hari kedua Hammersonic Festival 2016. Hujan yang turun dengan cukup lebat telah membuat sebagian besar massa yang pada awalnya berada di area festival (panggung Hammer & Sonic) terpaksa ‘mengungsi’ ke panggung Soul of Steel yang tertutup, dimana Burgerkill sedang tampil. Sekilas saya dapat melihat bahwa Burgerkill tampil dengan sangat prima dan massa yang memadati area di depan panggung seperti langsung ‘terbakar’ di track pertama yang dimainkan Ebenz dan kawan-kawan. Tidaklah salah kalau mereka disebut-sebut sebagai salah satu yang terdepan di skena Metal tanah air. Akan tetapi pikiran saya tidaklah tertuju ke aksi dahsyat Burgerkill di atas panggung, melainkan ke panggung Hammer dimana 15 menit lagi (19:30 WIB) GORGOROTH akan tampil! Ya, saya berada di venue Ecopark pada hari itu tidaklah untuk menikmati Festival Hammersonic secara keseluruhan, melainkan hanya untuk menonton aksi Gorgoroth! Saya cukup yakin bisa melihat lagi aksi Angra atau Suffocation (lagi) di kemudian hari. Akan tetapi kalau Gorgoroth? Band sinting Norwegia ini hanya pernah sekali tampil di region Asia, dan aksi mereka di event Hammersonic 2016 ini adalah yang kedua (setelah yang pertama di Bogor pada April 2015 yang lalu)! Chances, saya harus ‘mengejar’ mereka sampai ke Eropa atau Amerika apabila tidak sempat melihat aksi mereka di Hammersonic 2016. Sehingga ketika saya mendapatkan konfirmasi bahwa Gorgoroth positif tampil di Hammersonic 2016, segala aktivitas pekerjaan di bidang consulting mengalami reschedule, hotel Mercure di Ancol langsung di-booking sehingga saya masih bisa bekerja secara mobile dengan lokasi yang sangat dekat dengan venue Hammersonic! Objective: untuk melihat Gorgoroth, sang iblis Norwegia, tampil live di atas panggung! Akan tetapi menjelang 19:30 pada hari itu, hujan masih turun!

Continue reading

MARK SLAUGHTER “Reflections in a Rear View Mirror” (2015): Menyambut Kembalinya Sang Dewa Melodic Hard Rock

Mark Slaughter 5 2

Mark Slaughter, 2015. Album solo Mark yang berjudul “Reflections in a Rear View Mirror” adalah album solo pertama dari sang dewa Melodic Hard Rock, yang dirilis 17 tahun sejak rilisan Slaughter yang terakhir (“Back to Reality”, 1999)

Mark Slaughter Reflections

Reviewed by: Riki Paramita

SLAUGHTER! Band Hard Rock/ Heavy Metal multi platinum di era 90-an ini selalu mempunyai tempat di playlist saya di tengah-tengah gemuruh Death Metal dan Black Metal. Di tengah gemuruh “Chapel of Ghouls” (Morbid Angel), “Premature Burial” (Malevolent Creation), atau “Infecting the Crypts” (Suffocation), selalu ada waktu dan tempat untuk track Slaughter seperti “Up All Night”, “Spend My Life” atau “You are the One”. Album Slaughter “Stick It to Ya” (1990) adalah salah satu survivor Hard Rock/ Heavy Metal di tengah-tengah revolusi Extreme Metal di playlist saya pada awal 1990-an dulu. Begitu juga dengan rilisan Slaughter selanjutnya seperti “The Wild Life” (1992) dan “Fear No Evil” (1995). Selalu ada waktu dan tempat untuk “Real Love”, “Street of Broken Hearts”, “It’ll be Alright”, atau “Yesterday’s Gone”. Bahkan track instrumental “For Your Dreams” dari album “Fear No Evil” (1995) selalu dapat membawa saya terbang ke negeri antah berantah dimana semuanya serba positif, bersahabat, penuh senyuman, bercahaya dan berkilau, sebuah negeri dimana impian dan masa lalu hidup berdampingan secara harmonis. Demikian juga dengan rilisan Slaughter selanjutnya, yaitu “Revolution” (1997): “Heaven It Cries”, “I’m Gone”, “You’re My Everything”, atau “Can’t We Find a Way” selalu menjadi track wajib dalam banyak kesempatan. Bagi saya, semua album Slaughter adalah istimewa, dan hampir semua track di setiap albumnya mempunyai keindahan dan kekuatannya masing-masing. Bahkan untuk album terakhir mereka yaitu “Back to Reality” (1999) yang ditanggapi sepi oleh publik Hard Rock/ Heavy Metal dunia. Slaughter bagi saya adalah sama pentingnya dengan Dark Funeral, Gorgoroth, atau Marduk. Maka alangkah bersemangatnya saya ketika MARK SLAUGHTER, sang vokalis, merilis album solo pada Januari 2015 yang lalu. Mark Slaughter, the voice of Slaughter, membuat solo album! Wow!

Continue reading

NEUROTIC OF GODS “The Night Domination” (2002): Mengenang Salah Satu Karya Terbaik yang Terlupakan dari Skena Black Metal Tanah Air

Ade Black Wizard NOG

Ade Black Wizard, salah satu frontman Black Metal terbaik di negeri ini. Jejak langkah Kang Ade dan NOG melalui “The Night Domination” adalah salah satu pencapaian yang signifikan di skena Black Metal tanah air.

NOG The Night Domination

Reviewed by: Riki Paramita

Band lokal manakah yang paling signifikan pengaruhnya dalam meletakkan dasar-dasar dan mendefinisikan arah perkembangan Black Metal di skena tanah air? Apabila pertanyaan ini diajukan ke 100 responden di domain Black Metal tanah air maka niscaya kita akan mendapatkan 1000 jawaban! Karena pertanyaan seperti ini tidaklah dapat dijawab hanya dengan menyebutkan 1 nama band saja karena skena Black Metal di tanah air adalah sama dengan pertumbuhan skena lainnya yaitu tumbuh dan berkembang secara kolektif dan kolaboratif dari para pelakunya. Nyanyian kegelapan berkumandang di bumi Nusantara adalah sebagai wujud kontribusi individual sekaligus kolaborasi dari para insan Black Metal tanah air mulai dari Sumatera, Jawa, sampai Indonesia bagian tengah dan timur. Apabila pertanyaan tadi dikembangkan menjadi band lokal mana saja yang berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan skena Black Metal tanah air, maka jawaban dari para responden juga akan sangat dipengaruhi oleh subjektivitas, demografi, dan usia. Akan tetapi nama-nama yang disebut tidaklah akan jauh dari the great Kekal, the evil Sacrilegious, the mighty Hellgods, Dry, Soulsick, 2 Durhaka (Bali & Manado), Ritual Orchestra, Warkvlt, Djiwo, atau Vallendusk. Tanpa bermaksud mengecilkan kontribusi dan peranan nama-nama besar tadi, bersama tulisan ini saya ingin mengangkat cerita mengenai album Black Metal yang dapat dikategorikan sebagai salah satu yang terbaik dari skena lokal, yaitu “The Night Domination” dari band asal Bandung, NEUROTIC OF GODS (NOG). Kenapa? Alasan pertama adalah karena “The Night Domination” adalah salah satu karya dari skena lokal yang mempunyai sound yang sangat modern dan inovatif, serta memenuhi segala persyaratan untuk international recognition, baik ketika album ini dirilis pada tahun 2002 maupun pada saat sekarang. “The Night Domination” selama kurun waktu kurang lebih 14 tahun masihlah terdengar sangat fresh, modern, dan everlasting. Kedua, karena saya merasa harus ada tulisan yang menceritakan “The Night Domination” sebagai salah satu literatur klasik untuk skena Black Metal tanah air, sebuah ‘panggilan’ untuk mengangkat cerita yang barangkali sudah terlupakan.

Continue reading

GORGOROTH “Instinctus Bestialis” (2015): Menyimak Nyanyian Kegelapan dari Sang Iblis Norwegia

Atterigner 1

Atterigner, sang satanis dari Serbia yang menjadi vokalis Gorgoroth di album “Instinctus Bestialis”. Atterigner dan Ørjan “Hoest” Stedjeberg berbagi peran untuk menjadi vokalis di sesi rekaman di studio dan vokalis untuk aksi live di atas panggung. Atterigner adalah satanis tipe studio, sementara Hoest adalah satanis tipe panggung! 😀

Gorgoroth Instinctus Bestialis

Reviewed by: Riki Paramita

“Instinctus Bestialis” adalah album yang dirilis oleh GORGOROTH pada 8 Juni 2015 yang lalu. Sebuah penantian yang cukup lama, karena judul album “Instinctus Bestialis” sendiri sudah diumumkan oleh Gorgoroth melalui situs resmi mereka sejak pertengahan 2013. Menyebalkan? Apabila jawaban anda adalah ‘iya’, maka anda tidaklah sendiri. Setelah eksis selama hampir seperempat abad dengan hingar bingar kontroversi yang tidak pernah surut, apa lagi yang ditawarkan oleh Gorgoroth melalui album ke-10 mereka ini? Catatan: terserah apabila anda menganggap album Gorgoroth adalah 10 atau cuma 8, dimana hal ini juga merupakan sebuah kontroversi. 😀 Melalui sebuah wawancara dengan Decibel Magazine (September 2015), Roger “Infernus” Tiegs, sang gitaris dan konseptor, menjawab mengenai sumber inspirasi dan energinya dalam menghasilkan album Gorgoroth yang terbaru ini. “Satan did”, Infernus menjelaskan. Oke, baiklah kalau begitu. Sepertinya Infernus masih setia dengan ‘perjanjian’ yang dibuatnya dengan sang penguasa kegelapan di tahun 1992 yang silam (“after making a pact with the devil in 1992, Infernus founded Gorgoroth..” seperti yang ditulis di situs resmi mereka). Paling tidak di sini Infernus membuktikan bahwa dia loyal dan konsisten dengan ‘perjanjian’ tersebut. Walaupun terdengar bodoh, paling tidak Infernus masih memperlihatkan sebuah integritas. Jadi walaupun satanis, Infernus masih mempunyai integritas. 😀 “Instinctus Bestialis” yang dirilis melalui Soulseller Records ini dalam pembuatannya dibantu dibiayai oleh komunitas Bergen Kommune. Sementara untuk proses rekaman dan produksi dilakukan di Monolith Studio milik Tomas Asklund, sang drummer untuk 2 album Gorgoroth yang terakhir. Dalam sebuah wawancara dengan Terrorizer Magazine (#260), Infernus menjelaskan bahwa dia sangat menikmati proses pengerjaan “Instinctus Bestialis” dalam periode yang relatif panjang tanpa adanya tekanan dan deadline dari perusahaan rekaman manapun (barangkali termasuk tidak adanya tagihan dari studio, karena studio Monolith adalah milik teman 😀 ). Jadi “Instinctus Bestialis” yang ditulis sejak 2009 adalah representasi penuh dari kreativitas bermusik Infernus dan kawan-kawan. Jadi, seburuk apakah album ini?

Continue reading

DJIWO “Cakra Bhirawa” (2014): Sebuah Nyanyian Black Metal dari Langit Hitam Nusantara di Masa Silam

Djiwo Band 2014

Djiwo Cakra Bhirawa

Reviewed by: Riki Paramita

DJIWO adalah sebuah sebuah band misterius yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. Misterius, karena band ini selalu menghindar untuk menampilkan wajah asli dan identitas personil intinya baik di dalam setiap event maupun di channel media sosial mereka. Sebagai seorang penggemar Extreme Metal yang sangat jarang muncul di gigs atau festival, dan hanya memposisikan diri sebagai kurator untuk karya-karya Extreme Metal di depan notebook dan dari perpustakaan musik pribadi di cloud, tentunya referensi saya sangat terbatas untuk dapat bercerita mengenai para personil Djiwo. Akan tetapi dengan sedikit riset kecil-kecilan, saya dapat menarik benang merah bahwa para personil Djiwo bukanlah pribadi-pribadi pendatang baru di skena Black Metal tanah air, yang terbukti dari jejak digital mereka di berbagai situs yang berhubungan dengan Black Metal. Hal ini juga menjelaskan secara logis mengenai album “Cakra Bhirawa” yang seperti sebuah karya yang bersifat terobosan (breakthrough) untuk skena Black Metal lokal: musik Black Metal yang tidak hanya berdiri di satu dimensi, artwork dan konsep album yang digarap dengan sangat baik yang mencerminkan dalamnya pemahaman dari para personil Djiwo terhadap seni yang mereka representasikan, dan pemilihan topik dan tema album yang sangat eksotik yaitu mengenai mitologi, kebijaksanaan, kearifan, serta kepercayaan kuno yang sempat eksis di bumi Nusantara sebelum masuknya kultur dan agama Samawi dari Timur Tengah. Djiwo “Cakra Bhirawa” adalah sebuah nyanyian Black Metal dari langit hitam Nusantara di masa silam, dengan segala kisah, pemikiran, kearifan, dan legenda yang sudah sangat jarang diceritakan.

Continue reading

ALCEST “Shelter” (2014): Ketika Semua Elemen Metal Tidak Lagi Mempunyai Makna

Alcest 2014

Alcest dengan formasi yang konsisten sejak 2009: Stéphane “Neige” Paut dan Jean “Winterhalter” Deflandre. Duet ini mengambil langkah yang sangat berani dengan album “Shelter” di 2014 sebagai album yang sama sekali tanpa elemen Metal/ Black Metal.

Alcest - Shelter (2014)

Reviewed by: Riki Paramita

ALCEST (baca: “Al-sest”) adalah sebuah nama besar di skena Black Metal Perancis. Band yang berdomisili di Paris ini adalah termasuk yang pertama dalam berinovasi dan mempopulerkan fusion antara Black Metal dengan Shoegaze, yang kemudian menjadi populer sebagai sebuah aliran tersendiri yang dikenal dengan istilah Black Gaze, Shoegaze Black Metal, atau Post Black Metal dalam ruang lingkup yang lebih luas (karena Post Black Metal tidak melulu mengandung elemen Shoegaze). Alcest memulai kiprahnya di skena Black Metal Perancis melalui demo “Tristesse hivernale” (2001) yang berhaluan Raw Black Metal, Norwegian style. Akan tetapi sejak album pertama mereka “Souvenirs d’un autre monde” (2007), Alcest mulai memasukkan unsur-unsur asing ke dalam akar Black Metal mereka, sehingga yang terbentuk adalah sebuah fusion yang atmospheric yang terbentuk dari distorsi ala Black Metal dan nuansa yang mencampuradukkan emosi melalui senandung dan petikan gitar ala Shoegaze. Pelan namun pasti, kadar logam di musiknya Alcest cenderung untuk menurun atau mengalami ‘penyesuaian’, seperti pada 2 album berikutnya yaitu “Écailles de lune” (2010) dan “Les voyages de l’âme”.

Continue reading

MAYHEM “Wolf’s Lair Abyss” (EP, 1997): Sebuah Mata Rantai yang Terlupakan dari Sang Dewa Black Metal Norwegia

Mayhem 1997 1

Mayhem dengan formasi ‘reformasi’ di 1997: Rune “Blasphemer” Eriksen (Gitar), Jørn “Necrobutcher” Stubberud (Bass), Sven Erik “Maniac” Kristiansen (Vokal), dan Jan Axel “Hellhammer” Blomberg (Drum). Formasi ini merupakan keputusan bersama dari Jørn “Necrobutcher” dan Jan Axel “Hellhammer” untuk meneruskan Mayhem setelah kematian Øystein “Euronymous” Aarseth di tahun 1993.

Mayhem Wolfs Lair Abyss

Article written by: Riki Paramita

Cerita dimulai pada bulan Agustus 1993, kurang lebih 22 tahun yang lalu, di Norwegia yaitu di kota kecil Ski, 22 km dari Oslo. Øystein “Euronymous” Aarseth (Gitar) baru saja dimakamkan. Jørn “Necrobutcher” Stubberud (Bass) yang menghadiri pemakaman, diam seribu bahasa. Jørn sangat terpukul karena kepergian teman baiknya yang sangat tiba-tiba. Jørn “Necrobutcher” dan Øystein “Euronymous” adalah berteman baik, walaupun pada saat kepergian Euronymous hubungan mereka cenderung renggang. Jørn dan Øystein adalah ibarat John Lennon dan Paul McCartney versi Black Metal. Mereka selalu bersama, dan akan saling tukar pikiran mengenai aransemen musik yang sebelumnya sudah mereka rumuskan masing-masingnya, dan jadilah sebuah lagu! Begitulah kelahiran dari “Deathcrush” atau “Freezing Moon”. Sekarang Øystein sudah pergi. Sebelumnya Pelle (Per Yngve Ohlin, aka “Dead”. Vokalis) juga sudah terlebih dahulu meninggalkan Jørn, 2 tahun lebih awal (April, 1991). Jørn memang lebih berduka untuk Pelle ketimbang Øystein. Hubungan dengan Øystein memang cenderung sedang renggang: mereka bertengkar karena Øystein tidak memperlakukan Pelle secara terhormat di hari kematiannya. Øystein menjadikan kematian Pelle (yang meledakkan kepalanya sendiri dengan sebuah shotgun) sebagai sebuah publikasi murahan untuk Black Metal Norwegia. Sensasi khas tabloid. Jørn sangat marah dalam hal ini. Akibatnya Øystein pun tidak mengikutsertakan Jørn dalam proses rekaman debut album Mayhem. Øystein malah mengundang pemain bass tamu untuk rekaman: seorang pretty boy dengan kepribadian psychotic disorder, yaitu Kristian “Varg” Vikernes. Dan kita sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah keputusan terburuk yang pernah diambil oleh Øystein “Euronymous” Aarseth, sang godfather untuk Norwegian Black Metal. Sang pretty boy justru adalah orang yang kemudian mengakhiri hidupnya.

Continue reading

DISSECTION “Storm of the Light’s Bane” (1995): Ketika Menjadi Melodius Adalah Berarti Menjadi Lebih Gelap dan Mengerikan

Dissection Band 1995

Dissection dengan formasi maestro di 1995: Jon Nödtveidt (Vokal, Gitar), Johan Norman (Gitar), Ole Öhman (Drum), dan Peter Palmdahl (Bass). Formasi ini (terutama karena kejeniusan bermusik Jon Nödtveidt) menghasilkan “Storm of the Light’s Bane” (1995) sebagai puncak karya mereka. Sebuah puncak yang tidak pernah lagi tercapai baik oleh Dissection sendiri maupun band lainnya.

Dissection Storm of the Lights Bane

Article written by: Riki Paramita

DISSECTION adalah sebuah nama besar tidak hanya di skena Black Metal Swedia, melainkan juga di skena Black Metal dunia secara global. Disanjung dan dipuji setinggi langit karena pendekatan Melodic Black Metal mereka yang inovatif sekaligus mengerikan, dan banyak menginspirasikan band-band sesudah mereka. Dissection juga mempunyai penjualan album yang relatif tinggi untuk ukuran Black Metal, ditambah dengan cerita-cerita miring di seputar band ini yang justru membuat status mereka menjadi semakin kvlt dan misterius. Cerita tentang Jon Nödtveidt dan Dissection tidaklah kalah miring apabila dibandingkan dengan cerita Mayhem atau band-band ‘jahat’ lainnya dari Norwegia. Jon Nödtveidt, sang gitaris dan vokalis Dissection, tidaklah hanya seorang musisi yang brilian dan produktif menghasilkan karya, melainkan juga sebuah pribadi yang sangat kontroversial: mulai dari keterlibatannya di Misanthropic Luciferian Order (MLO), terlibat kasus pembunuhan dan mendekam selama 6 tahun di penjara, sampai ke kematiannya yang seperti sebuah bunuh diri ritualistik di tahun 2006.

Continue reading

Sebuah Nyanyian Kegelapan dari Dunia Tolkien: Mengenang GORGOROTH “Antichrist” (1996)

Gorgoroth Band 1996

Gorgoroth Antichrist 2

Article written by: Supriyanto “Desecrator” (Kontributor untuk Beyondheavymetal.com)

GORGOROTH, sebagaimana kita ketahui adalah band yang sangat kontroversial baik dari sisi lirik, tema lagu, dan penampilan di atas panggung. Banyak orang melihat, menyimak dan mengetahui band ini sejak wawancara Kristian Espedal aka “Gaahl” bersama Sam Dunn pada salah satu bagian perjalanannya dalam proyek dokumentasi “Metal: a Headbanger’s Journey”, bahkan tak jarang sampai sekarang pun banyak orang yang menganggap bahwa Gaahl adalah masih vokalis Gorgoroth. Saya pribadi mengenal Gorgoroth agak terlambat. Seingat saya waktu itu saya melakukan mailorder video VHS, dan salah satu isi dari video VHS tersebut adalah Gorgoroth, kalau tidak salah “Live in Wacken 98”. Gorgoroth menyuguhkan penampilan yang cukup gahar, tanpa kompromi, dan waktu itu saya cenderung menyimpan VHS ini dan lebih menyimak video “World Domination” yang diisi band-band seperti Enslaved, Dark Tranquillity, dan lainnya.

Selang beberapa saat, saya akhirnya bisa menyimak beberapa karya Gorgoroth, mulai dari album “Pentagram” (1994), “Antichrist” (1996), “Under the Sign of Hell” (1997), sampai “Destroyer” (1998), bersamaan dengan ketertarikan saya pada band-band semacam Summoning, Abigor, dan lainnya. Disini ketertarikan saya adalah karena nama Gorgoroth mengingatkan saya pada nama daerah dataran tinggi di dongeng “Lord of the Rings” karya J.R.R Tolkien.

Continue reading

MARDUK “Heaven Shall Burn… When We are Gathered” (1996): Sebuah Cerita Perlawanan dari Kubu Extreme Black Metal Swedia

Marduk Band 1996 11

Marduk dengan formasi 1996: Erik “Legion” Hagstedt (Vokal), Morgan Steinmeyer Hakansson (Gitar), Roger “B-War” Svensson (Bass), dan Fredrik Andersson (Drum). Album “Heaven Shall Burn… When We are Gathered” adalah debut Erik “Legion” sebagai vokalis Marduk dan menandai lahirnya sebuah era: Legion Era!

Marduk Heaven Shall Burn

Article written by: Riki Paramita

“I think the Norwegians go more for the moods, while we go for the brutality” – Erik “Legion” Hagstedt

Kalender menunjukkan angka tahun 1995. Black Metal, atau tepatnya 2nd Wave Black Metal sedang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, tidak hanya di skena Eropa akan tetapi juga di belahan dunia lainnya (termasuk Asia, dan juga Indonesia). Akan tetapi pertumbuhan Black Metal yang ditandai dengan kemunculan band-band baru dan produktivitas yang tinggi dalam menghasilkan karya adalah cenderung ke arah yang simfonik: mengikuti inovasi yang dilakukan oleh Emperor, Dimmu Borgir, atau Gehenna. Para dewa dari Norwegia ini menjadi kiblat dari band-band yang bermunculan pada periode tersebut dalam bermusik dan membangun gimmick. Symphonic Black Metal yang secara intensif menggunakan keyboards/ synthesizers dalam membangun nuansa atmospheric menjadi sebuah simbol dari kematangan dan kedewasaan musik Black Metal, dimana hal tersebut amatlah sangat sulit direpresentasikan melalui low fidelity Black Metal. Trilogi dari Darkthrone pada era tersebut sudah dianggap ketinggalan zaman, dan band seperti Darkthrone juga sudah kehabisan ide dan sangat miskin dalam hal inovasi (jangan membandingkan Fenriz dengan Ihsahn! 😀 ). Ditambah dengan sang godfather, yaitu Mayhem, yang pada saat itu sedang mengalami krisis identitas. Situasi bertambah keruh dengan virus Gothic yang semakin menggerogoti ‘kesehatan’ Black Metal, terutama lengkingan Dani Filth dari tanah Britania. Bagaimana dengan Death Metal? Band-band Swedia dalam hal ini mempunyai ‘dosa yang sangat besar’ terhadap kelahiran Melodic Death Metal atau seringkali disebut dengan Gothenburg sound. Band-band seperti In Flames, At the Gates, dan Dark Tranquillity mulai mengeluarkan karya-karya terbaik mereka. Singkat kata, skena Eropa tidak hanya menjadi simfonik melainkan juga melodius. Band-band yang mengusung speed dan brutality secara pelan namun pasti mulai terpinggirkan.

Continue reading

AMESOEURS “Amesoeurs” (2008): Sebuah Nyanyian Kehidupan Urban di Kala Mendung dan Hujan

Amesoeurs LP Cover 2

Cover dari album Amesoeurs ‘self-titled’ yang dirilis di tahun 2008. Album ini merupakan satu-satunya album dari kuartet asal Perancis ini, yang merupakan salah satu masterpiece untuk sub-genre Post Black Metal/ Shoegaze Black Metal.

Amesoeurs Band

Reviewed by: Riki Paramita

AMESOEURS adalah band yang berasal dari Avignon (Perancis), yang memainkan musik yang merupakan sebuah persenyawaan antara Black Metal, Post Punk, Shoegaze, dan Pop. Tidaklah cukup satu definisi untuk menceritakan musik Amesoeurs, karena musik mereka memang seperti mempunyai beberapa kepribadian. Kadangkala mereka terdengar seperti Burzum atau Darkthrone dalam bentuk mixing dan produksi yang sangat bersih. Pada kesempatan lain, mereka bisa muncul seperti The Cure atau Avril Lavigne dengan vokalis female yang terdengar seperti Frente dalam bentuk yang lebih mature dan murung. Jadi, secara garis besar kita dapat mendefinisikan musik Amesoeurs ke dalam 2 kategori, yaitu kategori ‘dark’ (gelap, dengan influence Black Metal) dan ‘light’ (terang, soft, tanpa influence Metal dan bahkan tanpa distorsi). Dimana masing-masing kategori ini secara luar biasa merepresentasikan emosi yang akan mengaduk-aduk perasaan pendengarnya. Kadang bernuansa sedih, murung, depresif, bahkan marah. Dan pada kesempatan lain ada nuansa nostalgia, ceria, dan penuh harapan. Suasana yang dibawakan oleh Amesoeurs adalah persis seperti yang digambarkan oleh cover album mereka yang sangat artsy: sebuah potret kehidupan urban di kota besar berikut dengan segala hingar bingar, tekanan, dan juga kegembiraan yang datang silih berganti. Seperti cuaca yang cenderung mendung dan hujan: hujan gerimis dan lebat, dan kemudian berhenti, dan kemudian menampilkan cahaya matahari yang menyeruak dari balik awan. Ya, dunia Amesoeurs adalah dunia kehidupan urban di kala mendung dan hujan. Melankolis, murung, sekaligus indah.

Continue reading

BELPHEGOR “Conjuring the Dead” (2014): Sebuah Album yang Lahir Setelah Mengintip dari Balik Tirai Kematian

Belphegor Band

Belphegor dengan formasi duet (2014): Helmuth Lehner (Vokal, Gitar), dan Vojtech R. “Serpenth” (Bass). Bersama-sama dengan musisi tamu lainnya, duet ini menghasilkan “Conjuring the Dead” sebagai album studio ke-10 dari sang raksasa Blackened Death Metal asal Austria, sekaligus sebagai album pertama setelah kesembuhan Helmuth Lehner dari komplikasi infeksi Typhus yang mematikan.

Belphegor Conjuring the Dead

Article written by: Riki Paramita

Helmuth Lehner: Mengintip dari Balik Tirai Kematian

Cerita tentang album BELPHEGOR “Conjuring the Dead” (2024) adalah mirip dengan cerita album “The Satanist” dari Behemoth apabila dilihat dari perspektif sang frontman/ konseptor: baik Helmuth Lehner (Belphegor, gitaris/ vokalis/ konseptor) maupun Adam “Nergal” Darski (Behemoth, gitaris/ vokalis/ konseptor) adalah sama-sama memenangkan perjudian mereka dengan sang maut pada saat masing-masing album masih dalam fase penulisan. Apabila Nergal berhasil sembuh dari penyakit Leukemia yang mematikan, maka Helmuth Lehner berhasil sembuh dari komplikasi infeksi Typhus akut yang membutuhkan operasi dan penyembuhan yang panjang (memakan waktu kurang lebih 8 bulan). Komplikasi Typhus yang diderita oleh Helmuth tidak hanya membuat paru-paru sang gitaris menjadi rusak, melainkan juga menimbulkan kerusakan hati (liver), jantung, dan menjalar ke organ tubuh lainnya sampai ke kaki. Secara fisik, Helmuth menjadi lumpuh dan sangat susah untuk menggerakkan badannya sendiri. Singkat kata, Helmuth Lehner benar-benar berada pada kondisi yang fuc#ed up! Infeksi Typhus ini didapat oleh Helmuth ketika Belphegor melakukan tur di Brazil pada tahun 2011. Akibatnya, sisa tur di Amerika Selatan harus dibatalkan dan Helmuth langsung diterbangkan ke kampung halamannya di Austria untuk menjalani perawatan medis intensif. Praktis selama perawatan yang seadanya di Amerika Selatan dan dalam perjalanan menuju Austria, Helmuth berada pada kondisi yang mirip dengan sebuah koma. Helmuth Lehner seolah-olah diberikan kesempatan untuk mengintip dari balik tirai kematiannya sendiri.

Continue reading