MARDUK “World Funeral” (2003): Ketika Sang Serigala Skandinavia Menemukan Kembali Serpihan Jiwa dan Karakternya yang Hilang

Marduk Band 2003 11

Marduk dengan formasi di album “World Funeral” (2003): Erik “Legion” Hagstedt (Vokal), Roger “B-War” Svensson (Bass), Emil Dragutinovic (Drum), dan Morgan Hakansson (Gitar). “World Funeral” adalah album terakhir dengan Legion & B-War yang menandai berakhirnya sebuah era dan dimulainya Marduk di era yang baru.

Marduk World Funeral Cover

Article written by: Riki Paramita

Marduk di Tahun 2001: Mau Kemana Setelah Trilogi Blood, Fire, & Death?

Kalender menunjukkan angka tahun 2001. Pada saat itu, MARDUK – sang mesin perang Black Metal dari Swedia (The Black Metal War Machine), baru saja menyelesaikan album yang merupakan sebuah trilogi dengan konsep yang Bathory-ish, yaitu ‘blood, fire, & death’. Album bertemakan ‘blood’ direpresentasikan oleh “Nightwing” yang dirilis pada tahun 1998. Album dengan tema ‘fire’ adalah “Panzer Division Marduk” (1999) yang monumental. Sementara album dengan topik ‘death’ adalah “La Grande Danse Macabre” pada tahun 2001. Marduk sempat merasa kehabisan kreativitas setelah merilis “Panzer Division Marduk” yang tidak hanya sebuah album yang bersifat groundbreaking, akan tetapi juga sebuah eksperimen yang berani dengan 30 menit (8 tracks) blast beats secara non-stop. Album ini barangkali adalah album Black Metal paling brutal pada saat itu. Mau kemana lagi setelah itu? Mau dibawa kemana arah dari musik Marduk setelah tidak ada lagi ruang gerak untuk agresivitas dan brutality?

Continue reading

MARDUK “Opus Nocturne” (1994): Cerita di Balik Salah Satu Album Black Metal Terbesar Sepanjang Masa

Marduk Band 1994 1

Marduk dengan formasi dahsyat di 1994: Fredrik Andersson (Drum), Morgan Hakansson (Gitar), Joakim Af Gravf (Vokal), dan Roger “B-War” Svensson (Bass). Formasi ini menghasilkan “Opus Nocturne” di tahun 1994, sebagai album yang merupakan transisi musik Marduk ke sound yang lebih cepat & ekstrim, sekaligus mempertegas posisi Swedia di peta Black Metal dunia.

Marduk Opus Nocturne 1

Article written by: Riki Paramita

MARDUK “Opus Nocturne” (1994) sebagai album Black Metal terbesar sepanjang masa? Tentu saja tidak. Sangat sulit tentunya untuk menyebutkan satu album sebagai yang terbesar (tanpa embel-embel ‘salah satu’), apalagi sepanjang masa :-). Para fans Black Metal tentunya juga akan sangat berkeberatan: karena Black Metal tidaklah relevan untuk peringkat seperti halnya Top 40. Akan tetapi apabila pertanyaannya adalah: album Black Metal apa saja yang paling berpengaruh di perkembangan 2nd wave Black Metal? Maka saya yakin Marduk “Opus Nocturne” akan selalu ada di daftar jawaban para stakeholders Black Metal. Kenapa? Karena “Opus Nocturne” adalah sebuah cetak biru yang kuat untuk perkembangan Black Metal ke arah yang ultra agresif & cepat, sebagai jawaban terhadap sub-genre Brutal Death Metal. Marduk dan sang mastermind Morgan Hakansson pada saat itu (awal 90-an) adalah salah satu dari sedikit orang non-Norwegia yang dekat dengan skena Black Metal Norwegia terutama para geng Helvete yang berpusat di sosok Øystein Aarseth aka Euronymous. Sehingga dapat dikatakan bahwa Morgan Hakansson adalah salah seorang ekstensi dari skena Norwegia yang ‘disetujui’ oleh Euronymous. Album “Opus Nocturne” yang dirilis oleh Osmose Productions di akhir tahun 1994 adalah sebuah album yang unik: ultra agresif, cepat, didominasi oleh blast beats drumming, akan tetapi masih mempunyai vibe yang gelap, dingin, jahat, dan suram seperti layaknya karya Black Metal terbaik (dimana dalam banyak kasus, soul Black Metal dan permainan ultra agresif dan cepat adalah bersifat zero sum: saling meniadakan satu sama lainnya). Decibel Magazine menempatkan “Opus Nocturne” pada peringkat 7 di dalam edisi ‘Top 100 Black Metal Albums of All Time’, dimana album ini hanya berada di bawah karya-karya besar lain dari Satyricon, Venom, Emperor, Darkthrone, Mayhem, dan Bathory. Sekali lagi, Black Metal memang bukanlah soal peringkat Top 100-an. Akan tetapi amatlah sukar untuk menyangkal besarnya pengaruh “Opus Nocturne” di perkembangan Black Metal di tahun-tahun berikutnya. Seburuk apakah Marduk “Opus Nocturne”? 🙂 Continue reading

INFERNAL WAR “Axiom” (2015): Sebuah Nyanyian Perang Penuh Amarah dan Adrenalin dari Polandia

Infernal War 2015 2

Infernal War dengan formasi 2015: Vaneth “Triumphator” (Gitar), Herr Warcrimer (Vokal), Zyklon (Gitar), Krzysztof “Godcrusher” Michalak (Bass), dan Paweł “Stormblast” Pietrzak (Drum). Para ‘penjahat perang’ dari Polandia ini telah kembali dengan “Axiom” sebagai nyanyian perang mereka yang terbaru di 2015. Foto: http://decibelmagazine.com.

Infernal War - Axiom

Reviewed by: Riki Paramita

INFERNAL WAR kembali merilis full length album setelah 8 tahun ‘menghilang’. Full length album mereka yang terakhir adalah “Redesekration: The Gospel of Hatred and Apotheosis of Genocide” yang dirilis pada tahun 2007. Di rentang 2007 sampai dengan 2015, Infernal War hanya sempat merilis 1 EP (“Conflagator”, 2009), 1 split album (“Transfiguration”, 2010), dan 1 kompilasi (“Chronicles of Genocide”, 2014). Apa yang menyebabkan mereka vakum begitu lama? Sepertinya ini hanyalah masalah fokus para musisi di Infernal War yang terbagi antara meneruskan Infernal War dan proyek-proyek lainnya seperti Voidhanger atau Iperyt. Dimana hal ini dirasakan cukup menyebalkan bagi fans yang menunggu begitu lama untuk rilisan Infernal War yang baru, seperti halnya saya. 🙂 Sehingga ketika Infernal War mengumumkan bahwa mereka akan merilis “Axiom” sebagai full length album mereka yang ke-3 di Desember 2014 yang lalu, maka tanggal dirilisnya album tersebut pada 17 April 2015 menjadi hari yang sangat ditunggu-tunggu. Setelah mendengarkan 11 track pada album ini, deksripsi yang paling tepat untuk Infernal War “Axiom” adalah: sebuah album Death Metal yang penuh amarah dan adrenalin, berkecepatan tinggi, akan tetapi tidak bersifat repetitif apalagi membosankan untuk disimak. Death Metal? Sepertinya Infernal War di “Axiom” memang lebih tepat untuk dideskripsikan sebagai Death Metal. Aspek-aspek Black Metal yang membuat mereka sangat unik sebagai pengusung Blackened Death Metal di 2 full length album sebelumnya adalah sangat minimal ditemukan di album ini. Herr Warcrimer dan kawan-kawan pun sudah dengan ‘resmi’ melepas corpse paint mereka. Akan tetapi hal ini tidaklah membuat Infernal War menjadi krisis identitas, melainkan justru semakin menguatkan eksistensi mereka sebagai pengusung War (Death) Metal dengan sound dan ciri khas mereka sendiri. Continue reading

GORGOROTH “Destroyer” (1998): Album Paling Berantakan Sekaligus Terbaik dari Sang Punggawa ‘True Norwegian Black Metal’

Infernus Gorgoroth 1

Roger “Infernus” Tiegs: sang gitaris, musisi multi-instrumen, komposer, dan konseptor dari Gorgoroth. Album Gorgoroth di tahun 1998 yaitu “Destroyer” adalah album yang ‘berantakan’ dan lebih tepat disebut sebagai album solo Infernus karena dia adalah satu-satunya musisi yang konsisten terlibat di setiap track. Foto: http://gorgoroth.info.

Gorgoroth Destroyer

Reviewed by: Riki Paramita

GORGOROTH adalah band yang penuh kontroversi, dicintai dan sekaligus dibenci oleh publik di skena Black Metal. Mulai dari kontroversi mengenai sikap, pendapat, dan pernyataan dari Roger “Infernus” Tiegs – sang Gitaris dan konseptor Gorgoroth – di media, masalah dispute dari nama Gorgoroth yang sampai melibatkan pengadilan, sampai ke arah bermusik Gorgoroth yang seringkali bereksperimen ke area yang mengejutkan bagi para fans mereka. Fans Gorgoroth sendiri secara garis besar terbagi 2: pertama adalah kelompok yang fanatik dengan sound klasik dari Norwegian Black Metal, terutama di periode awal kelahiran 2nd wave Black Metal. Kelompok ini sangat memuja album “Pentagram” (1994), “Antichrist” (1996), dan “Under the Sign of Hell” (1997). Kelompok kedua adalah yang pro terhadap Gorgoroth di era Kristian “Gaahl” Espedal dan Tom “King” Visnes berada di balik creative forces Gorgoroth. Kelompok kedua ini akan sangat menyanjung “Incipit Satan” (2000), “Twilight of the Idols” (2003), dan “Ad Majorem Sathanas Gloriam” (2006).

FYI, Decibel Magazine menempatkan “Incipit Satan” di peringkat 68 pada edisi ‘Top 100 Black Metal Albums of All Time.’ Sementara “Pentagram” dan “Antichrist” adalah berturut-turut di peringkat 101 & 102 (di luar Top 100). Sepertinya Decibel Magazine adalah termasuk di kelompok ke-2, yaitu lebih apresiatif terhadap Gorgoroth di era Gaahl & King. Black Metal memang bukan soal peringkat apalagi Top 100-an. 🙂 Akan tetapi apabila ditanya, album Gorgoroth mana yang menurut anda terbaik, maka kira-kira apa jawaban anda para pembaca? Bersama ini Beyondheavymetal.com setelah melakukan analisis awam yang penuh preferensi pribadi memberikan penilaian bahwa album Gorgoroth yang berkategori terbaik justru berada di periode yang penuh kekacauan setelah trilogi “Pentagram” – “Antichrist” – “Under the Sign of Hell” dan sebelum “Incipit Satan”, yaitu album “Destroyer, or How to Philosophize with the Hammer” yang dirilis di tahun 1998. Seburuk apakah album ini? Continue reading

MARDUK “Serpent Sermon” (2012): Menyimak Nyanyian Sang Ular Berbisa dari Skandinavia

Marduk 2012 2

Marduk dengan formasi 2012: Lars Broddesson (Drum), Daniel “Mortuus” Rostén (Vokal), Magnus “Devo” Andersson (Bass), dan Morgan Hakansson (Gitar). Marduk menghasilkan “Serpent Sermon” di 2012 sebagai salah satu album mereka yang paling evil dan gelap. Foto: http://marduk.nu.

Marduk Serpent Sermon

Reviewed by: Riki Paramita

Setelah “La Grande Danse Macabre” Tour di awal tahun 2002, drummer Fredrik Andersson yang sudah 9 tahun duduk di belakang drum kit Marduk tidak lagi terlihat antusias untuk meneruskan hari-harinya bersama Marduk. Emil Dragutinovic kemudian direkrut untuk menggantikan Fredrik di belakang drum kit. Setelah selesainya album “World Funeral” (2003) dan tur untuk album tersebut di 2004, vokalis Erik “Legion” Hagstedt menghilang dan tidak pernah muncul lagi di sesi latihan Marduk. Padahal Marduk pada saat itu sedang intensif mempersiapakan materi baru. Langkah Erik “Legion” kemudian diikuti oleh bassist Roger “B-War” Svensson. Maka tinggallah Morgan Hakansson berdua dengan Emil Dragutinovic yang relatif masih baru dengan Marduk. Morgan kemudian bertekad untuk membangun kembali Marduk dengan merekrut Magnus “Devo” Andersson untuk posisi bassist (sebelumnya Devo pernah bermain di Marduk sebagai gitaris pada periode 1992-1994), dan Daniel “Mortuus” Rostén sebagai vokalis yang baru. Dan era Marduk dengan Mortuus sebagai frontman pun dimulai. Mortuus kemudian tidak hanya menjadi frontman Marduk, melainkan juga mempengaruhi arah bermusik Marduk di album-album berikutnya. Continue reading

MARDUK “Frontschwein” (2015): Kembalinya Sang Maestro War Black Metal Skandinavia ke Garis Depan Peperangan

Marduk Band 2015 3

Marduk dengan formasi dahsyat di 2015: Morgan Hakansson (Gitar), Daniel “Mortuus” Rostén (Vokal), Fredrik Widigs (Drum), dan Magnus “Devo” Andersson (Bass). Sang maestro War Black Metal Skandinavia telah kembali dengan “Frontschwein” (2015), nyanyian peperangan mereka yang terbaru. Foto: http://marduk.nu.

Marduk Frontschwein

Reviewed by: Riki Paramita

MARDUK, sang maestro War Black Metal dari Swedia telah kembali dengan nyanyian perang mereka yang terbaru yaitu “Frontschwein” (atau ‘front line soldier’ dalam Bahasa Inggris). Album ini dirilis pada Januari 2015 yang lalu, yang merupakan album (full length) ke-13 dari Marduk, dan yang kedua dengan tematis Perang Dunia II (PD II), setelah “Panzer Division Marduk” (1999). Tema mengenai PD relatif sedikit pada 6 album Marduk yang dirilis di periode antara “Panzer Division…” dan “Frontschwein”, akan tetapi Marduk pada dasarnya masih memegang teguh akar War Black Metal mereka, dimana hal ini tercermin di EP atau live album mereka seperti “Iron Dawn” (EP, 2011) atau “Warschau” (live, 2005). Album ke-13 ini juga merupakan album yang pertama dengan Fredrik Widigs di belakang drum kit. Drum kit Marduk dalam hal ini kembali ‘memakan korban’ setelah Lars Broddesson mengalami cedera pada punggungnya. Drummer sebelumnya yaitu Emil Dragutinovic yang meninggalkan Marduk pada tahun 2006 adalah juga karena cedera fisik (pergelangan tangan). Apakah cedera fisik yang diderita para drummer ini berhubungan dengan musik Marduk yang sangat agresif di sektor drum? 🙂 Tentunya hanya Lars dan Emil yang paling mengerti jawabannya. Yang pasti, ‘genderang perang’ Marduk pada saat ini berada di tangan Fredrik Widigs yang masih berusia 26 tahun. Energi muda Fredrik tentunya sangat dibutuhkan oleh rekan-rekannya yang lain yang rata2 sudah berusia 40 tahun. Continue reading

Sebuah Agresi Black Metal dari Swedia: Mengenang MARDUK “Panzer Division Marduk” (1999)

Marduk - The Black Metal War Machine

Marduk dengan formasi 1999: Fredrik Andersson (Drums), Erik “Legion” Hagstedt (Vokal), Roger “Bogge” Svensson (Bass), dan Morgan “Evil” Hakansson (Gitar). Tag “Panzer Division Marduk – The Black Metal War Machine” pada CD sleeve album ini adalah sebuah pernyataan terbuka mengenai konsep album dan arah musik Marduk di tahun-tahun berikutnya. Foto: http://wallpaperest.com.

Marduk - Panzer Division Marduk

Reviewed by: Riki Paramita

Kapankah sub-genre War Black Metal pertama kali diinisiasikan? Album Black Metal manakah yang dapat dikatakan sebagai yang pertama di sub-genre War Black Metal? Pertanyaan sederhana seperti di atas akan menghasilkan bermacam-macam jawaban yang masing-masingnya bisa jadi mempunyai penjelasan yang sama-sama representatif. Akan tetapi apabila pertanyaannya adalah mengenai 5 album War Black Metal yang paling berpengaruh di skena Black Metal dunia, maka saya yakin bahwa album “Panzer Division Marduk” (1999) dari Marduk akan selalu berada di dalam daftar jawaban para Metalhead. “Panzer Division Marduk” bukanlah album War Black Metal yang pertama. Akan tetapi album inilah yang mengangkat sub-genre War Black Metal menjadi lebih populer melalui penggarapan tema album, lirik, dan artwork yang konsisten dengan tema di seputar peperangan (terutama perang dunia II/ PD II). Pada CD sleeve album ini kita juga dapat melihat frase “Panzer Division Marduk – The Black Metal War Machine” yang seolah-olah merupakan sebuah shifting, dan self concept yang baru dari Marduk ketika itu. Continue reading

WARKVLT “Merdeka” (2015): Ketika Black Metal Bertemu dengan Konsep Nasionalisme, Patriotisme, dan Naskah Proklamasi

Warkvlt 2015

WARKVLT, dengan formasi 2015: Sigit Abaddon (Vokal), Abah Desecrator (Gitar), Heri The Abyss (Bass), dan Riyan Blastphemy (Drum). Formasi dahsyat yang menghasilkan album “Merdeka” yang merupakan langkah besar bagi Warkvlt dan skena Black Metal/ Extreme Metal nasional secara umum.

Article written by: Riki Paramita

Warkvlt - Merdeka

“Instead of looking around for sonic inspiration from other bands, we’d rather listen to ourselves, our intuition and inner spirit, to grant us that inspiration.”

– Adam “Nergal” Darski (Terrorizer Magazine, #245, February 2014).

Warkvlt, sang pendekar War Black Metal dari bumi Pasundan merilis album terbaru mereka yang berjudul “Merdeka” di awal tahun 2015 ini. “Merdeka” adalah full length album mereka yang pertama sebagai Warkvlt, setelah sebelumnya sempat merilis satu album ketika mereka masih memakai nama Impish. Kita dapat melihat dengan sangat jelas bahwa pergantian identitas menjadi Warkvlt seperti sebuah pernyataan terbuka mengenai konsep bermusik mereka yang semakin dalam bereksplorasi di area War Black Metal dengan inspirasi dan influence yang kental dari Marduk di era “Panzer Division Marduk” (1999) atau Infernal War di era “Redesekration…” (2007). Akan tetapi sejalan dengan quote dari Adam “Nergal” Darski di awal tulisan ini, bahwa akan ada suatu periode di dalam perjalanan kreativitas sebuah band dalam memformulasikan konsep diri mereka (self concept) untuk lebih mengenali dan mendalami root dari diri mereka sendiri ketimbang pengaruh eksternal dari literatur atau band-band lainnya. Warkvlt pun mengalami proses metamorfosis seperti ini: melakukan pencarian dan inspirasi jauh ke dalam jiwa mereka sendiri sebagai anak-anak dari bumi Pasundan, dan sebagai jiwa-jiwa yang terlahir di bumi yang menjadi bagian dari cita-cita besar, yaitu kepulauan Nusantara. Sebagai musisi yang terlahir di bumi Indonesia. Sebagai orang Indonesia. Soul searching ini membawa Warkvlt ke dalam format bermusik yang sama sekali baru dan sangat radikal apabila dilihat dari perspektif Black Metal secara tradisional: Nusantara War Metal! Sebagai salah satu mata rantai dari derivatif post War Black Metal yang diinisiasikan di Skandinavia. Continue reading

Sebuah Panggung Imajiner: ‘The Big 4 of Death Metal’ Versi Beyondheavymetal.com (Bagian 4 dari 4 Tulisan)

Cannibal Corpse 2014 2

Cannibal Corpse dengan formasi 2014: Alex Webster (Bass), Pat O’ Brien (Gitar), Rob Barrett (Gitar), George “Corpsegrinder” Fisher (Vokal), dan Paul Mazurkiewcz (Drum). Cannibal Corpse mempunyai karakteristik musik yang brutal, straightforward, eksplisit, dengan topik gore yang konsisten, akan tetapi mempunyai penjualan album dengan skala platinum. Foto: Cannibal Corpse Official Facebook.

Article written by: Riki Paramita

Artikel ini adalah bagian terakhir dari 4 bagian tulisan mengenai band2 yang termasuk ke dalam ‘The Big 4’ untuk kategori Death Metal menurut Beyondheavymetal.com. Seperti yang sudah diceritakan di bagian terakhir pada tulisan bagian ke-3, dan sesuai dengan foto di atas, maka tempat teratas ditempati oleh sang tukang jagal dari Florida yang konsisten dengan topik zombie, torture, gore, dan serial killer untuk setiap lagunya, yaitu Cannibal Corpse! Kenapa Cannibal Corpse? Cannibal Corpse adalah salah satu pionir yang paling menonjol untuk genre/ sub-genre Death Metal terutama untuk tema yang berhubungan dengan gore dan turunannya. Karya mereka yang pertama “Eaten Back to Life” (1990) adalah sebuah inovasi yang semakin memperkuat definisi Death Metal yang pada saat itu sedang berada pada proses ‘melepaskan diri’ dari definisi Thrash Metal sebagai sebuah root sound. “Eaten Back to Life” masihlah mempunyai elemen-elemen Thrash Metal yang kental, akan tetapi sudah memperkenalkan template vokal growl yang terdengar sangat psycho dari Chris Barnes, dan tematis gore yang digarap dengan sangat serius, konsisten, akan tetapi masih bersifat karikaturial sehingga tidak cenderung untuk membuat perut menjadi mual :-).  Continue reading

Sebuah Panggung Imajiner: ‘The Big 4 of Death Metal’ Versi Beyondheavymetal.com (Bagian 3 dari 4 Tulisan)

Morbid Angel Live 2011

Morbid Angel on stage: David Vincent (Bass, Vokal), dan Trey Azaghthoth (Gitar). Bersama-sama dengan Thor Anders Myhren (Gitar) dan Tim “The Missile” Yeung, Morbid Angel masihlah sebuah band yang dahsyat di skena Death Metal dunia. Foto: http://www.last.fm

Article written by: Riki Paramita

Artikel ini adalah bagian 3 dari 4 bagian mengenai band2 yang termasuk ke dalam ‘The Big 4’ untuk kategori Death Metal menurut Beyondheavymetal.com. Seperti yang sudah dibahas pada 2 artikel sebelumnya, tempat ke-4 dan ke-3 berturut-turut ditempati oleh Suffocation dan Deicide. Satu dari kubu New York Style dan satu lagi dari bay area atau lebih tepatnya Tampa, Florida. Band yang akan menempati peringkat ke-2 adalah masih ‘bertetangga’ dengan Deicide yaitu di Tampa, Florida. Sesuai dengan foto di atas, tempat ke-2 diduduki oleh Morbid Angel – sang innovator Death Metal yang mendefinisikan arah Death Metal untuk menjadi sangat technical dan rumit melalui permainan gitar (terutama bagian solo/ lead), blast beats intensive, vokal growl, dan juga sekaligus sebagai salah satu dari sedikit band di domain Death Metal yang mencicipi sukses seperti layaknya band yang bersifat mainstream (terminologi mainstream juga tentunya sangat relatif, sekarang ini barangkali Morbid Angel juga sudah termasuk ke dalam kategori mainstream, sejalan dengan semakin populernya Death Metal. Akan tetapi tidak demikian halnya di era akhir 80-an sampai awal 90-an, dimana Death Metal masih sangat underground dan Morbid Angel secara fantastis bisa tampil dengan penjualan album yang sangat tinggi untuk ukuran Death Metal). Sama halnya dengan Suffocation dan Deicide, pemilihan Morbid Angel di posisi ke-2 ini juga berdasarkan pada 6 parameter, yaitu: Continue reading

Sebuah Panggung Imajiner: ‘The Big 4 of Death Metal’ Versi Beyondheavymetal.com (Bagian 2 dari 4 Tulisan)

Deicide 2011 2

Deicide dengan formasi terdahsyat pasca kepergian Brian & Eric Hoffman: Steve Asheim (Drum), Glen Benton (Vokal, Bass), Ralph Santolla (Gitar), dan Jack Owen (Gitar). Formasi ini menghasilkan “The Stench of Redemption” (2006) yang seringkali disebut setara dengan album mereka di 90-an. Foto: http://www.yellmagazine.com.

Article written by: Riki Paramita

Artikel ini adalah bagian 2 dari 4 bagian mengenai band2 yang termasuk ke dalam ‘The Big 4’ untuk kategori Death Metal menurut Beyondheavymetal.com. Subjektif? Tentu saja dalam hal ini subjektivitas akan sangat berperan. Akan tetapi keanekaragaman pendapat di sini adalah hal yang sangat wajar yang justru merupakan salah satu keindahan di dalam sebuah komunitas atau skena (Death) Metal karena hal ini mencerminkan keanekaragaman preferensi dan sudut pandang dari para stakeholder (Death) Metal dimana pada akhirnya akan dapat saling mengisi satu sama lainnya. Seperti halnya genre/ sub-genre musik yang lain, atau bahkan musik secara universal, Death Metal adalah sebuah art. Sebuah legitimate art. Jadi akan relatif susah untuk mengidentifikasikan entity2 yang kita anggap terbaik di bidang yang secara naturnya bukanlah sebuah kompetisi. Kurang lebih analoginya adalah dengan mencoba mengidentifikasikan siapakah yang lebih baik diantara Picasso, Goya, atau Van Gogh. Mozart, Bach, atau Hayden? Adalah relatif susah untuk mengkuantifisir hal yang lebih banyak faktor kualitatifnya. Bersama ini saya ingin menambah polemik dan kontroversi dengan mencoba mengidentifikasikan ‘The Big 4’ untuk genre/ sub-genre Death Metal :-). Dimana pemilihan band2 untuk kategori ini adalah didasarkan pada 6 parameter, yaitu:

Continue reading

Sebuah Panggung Imajiner: ‘The Big 4 of Death Metal’ Versi Beyondheavymetal.com (Bagian 1 dari 4 Tulisan)

Suffocation 2013

Suffocation dengan formasi 2013: Dave Culross (Drum), Terrance Hobbs (Gitar), Frank Mullen (Vokal), Guy Marchais (Gitar), dan Derek Boyer (Bass). Foto: http://www.metal-archives.com

Article written by: Riki Paramita

Musik bukanlah sebuah kompetisi. Walaupun persaingan adalah sesuatu yang umum kita lihat di sebuah skena musik. Musik juga bukanlah untuk dikotak-kotakkan ke dalam kategori-kategori yang terdapat di dalam taksonomi genre musik. Sehingga pengkategorian hanyalah ditujukan sebagai identifier saja, untuk memberikan informasi dalam bahasa yang singkat dan efektif mengenai permainan musik sebuah band tertentu. Sehingga apabila kita mengacu kepada mindset di atas, maka terminologi ‘The Big 4 of Thrash Metal’ yang mencuat beberapa waktu yang lalu akan terdengar sangat absurd dan penuh kontroversi: apakah mereka benar-benar dapat dikategorikan sebagai Thrash Metal? Dimana dalam hal ini kategori Thrash Metal tidaklah secara eksplisit disebutkan. Apabila tidak disebutkan maka akan lebih absurd lagi: the big 4 of what? Dan apakah band2 yang tergabung di dalam ‘The Big 4’ ini benar2 dapat dikatakan sebagai yang terbesar di genre Thrash Metal? Kenapa nama Testament, Overkill, Exodus, atau Nuclear Assault tidak termasuk di dalamnya? Sudahlah, walaupun kontroversial saya yakin tidak satupun dari kita yang membantah kebesaran nama Anthrax, Megadeth, Slayer dan Metallica di skena Metal dunia. Dan saya yakin bahwa kita semua akan sependapat bahwa mega-concert ‘The Big 4’ adalah sangat dahsyat baik dari segi performansi dan finansial (yang dapat teridentifikasi dari besarnya crowd pada konser tersebut). Dan apabila ada sebuah EO yang dapat membawa Anthrax, Megadeth, Slayer dan Metallica ke atas 1 panggung, maka nama apa yang paling sesuai untuk mega-concert ini? Tentu saja ‘The Big 4 of Thrash Metal’! Saya sendiri juga menjadi tidak konsisten dalam hal ini. 🙂

Bersama ini saya ingin menambah polemik dan kontroversi dengan mencoba mengidentifikasikan ‘The Big 4’ untuk genre/ sub-genre Death Metal :-). Dimana pemilihan band2 untuk kategori ini adalah didasarkan pada 6 parameter, yaitu: Continue reading

Nyanyian untuk Bumi Tercinta: Sebuah Sisi Lain dari Extreme Metal

Obituary World Demise

Cover dari album Obituary “World Demise” (1994). Album ini mengambil tema kerusakan lingkungan sebagai akibat dari polusi yang disebabkan oleh emisi karbon yang berlebih dari industri, radioaktif, pembuangan sampah ke sungai-sungai, dan polusi laut sebagai akibat dari eksplorasi/ eksploitasi bahan bakar fosil.

An Inconvenient Truth by Al Gore

Article written by: Riki Paramita

Pemanasan global, efek rumah kaca, atau menipisnya lapisan ozon adalah wacana yang belakangan sering kita temui di media, terutama setelah dirilisnya DVD “The Inconvenient Truth” pada 2006 yang lalu (terlepas dari semua kritik yang bersifat scientific dan kontroversi politis yang menyertainya), yang membuktikan bahwa kondisi atmosfir bumi yang hanya 15-20 tahun yang lalu amatlah sangat berbeda dengan kondisi sekarang. Lapisan es di kutub utara dan selatan yang cenderung untuk berkurang secara signifikan, gleitser yang semakin lama semakin kering, dan yang paling mudah diidentifikasi adalah semakin tingginya suhu pada hari-hari biasa. Pemanasan global ini disebabkan oleh kadar karbon yang semakin hari semakin tinggi di atmosfer bumi, sehingga pantulan sinar matahari dari bumi ke angkasa/ outer space yang berupa sinar infra merah seperti ‘terperangkap’ di atmosfer sebagai akibat dari kondisi atmosfir yang semakin terpolusi. Sinar infra merah yang terperangkap ini dalam porsi yang cukup akan memberikan efek positif terhadap suhu bumi: suhu bumi akan cenderung stabil & live-able. Akan tetapi dalam porsi yang berlebih (excessive), akan menimbulkan ‘efek rumah kaca’ (greenhouse effect) yang akan membuat suhu di permukaan bumi semakin hari semakin tinggi, yang pada akhirnya, pada suatu hari nanti, akan sampai pada kondisi di mana planet kita tercinta tidak lagi live-able.

Barangkali (mudah2an saya salah) sebagian besar dari kita masih belum begitu peduli dan belum begitu mengerti pesan dari DVD “The Inconvenient Truth” yang diprakarsai oleh Al Gore yang juga mantan wakil presiden Amerika Serikat ini. Akan tetapi para musisi Extreme Metal (misalnya: Thrash Metal, Death Metal, Grindcore), sudah sejak lama mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap kondisi planet kita melalui track2 Metal yang meneriakkan apa yang disampaikan oleh Al Gore dan/ atau Green Peace: minimasi/ hentikan polusi, pencegahan pemanasan global (global warming), selamatkan ekosistem di sekitar kita, lindungi dan konservasikan endangered species, yang pada akhirnya dapat menyelamatkan planet biru kita yang tercinta ini. Track2 Metal tersebut diantaranya adalah:

1. KREATOR – “When the Sun Burns Red” (dari album: “Coma of Souls”, 1990)

Continue reading