INFERNAL WAR “Axiom” (2015): Sebuah Nyanyian Perang Penuh Amarah dan Adrenalin dari Polandia

Infernal War 2015 2

Infernal War dengan formasi 2015: Vaneth “Triumphator” (Gitar), Herr Warcrimer (Vokal), Zyklon (Gitar), Krzysztof “Godcrusher” Michalak (Bass), dan Paweł “Stormblast” Pietrzak (Drum). Para ‘penjahat perang’ dari Polandia ini telah kembali dengan “Axiom” sebagai nyanyian perang mereka yang terbaru di 2015. Foto: http://decibelmagazine.com.

Infernal War - Axiom

Reviewed by: Riki Paramita

INFERNAL WAR kembali merilis full length album setelah 8 tahun ‘menghilang’. Full length album mereka yang terakhir adalah “Redesekration: The Gospel of Hatred and Apotheosis of Genocide” yang dirilis pada tahun 2007. Di rentang 2007 sampai dengan 2015, Infernal War hanya sempat merilis 1 EP (“Conflagator”, 2009), 1 split album (“Transfiguration”, 2010), dan 1 kompilasi (“Chronicles of Genocide”, 2014). Apa yang menyebabkan mereka vakum begitu lama? Sepertinya ini hanyalah masalah fokus para musisi di Infernal War yang terbagi antara meneruskan Infernal War dan proyek-proyek lainnya seperti Voidhanger atau Iperyt. Dimana hal ini dirasakan cukup menyebalkan bagi fans yang menunggu begitu lama untuk rilisan Infernal War yang baru, seperti halnya saya. 🙂 Sehingga ketika Infernal War mengumumkan bahwa mereka akan merilis “Axiom” sebagai full length album mereka yang ke-3 di Desember 2014 yang lalu, maka tanggal dirilisnya album tersebut pada 17 April 2015 menjadi hari yang sangat ditunggu-tunggu. Setelah mendengarkan 11 track pada album ini, deksripsi yang paling tepat untuk Infernal War “Axiom” adalah: sebuah album Death Metal yang penuh amarah dan adrenalin, berkecepatan tinggi, akan tetapi tidak bersifat repetitif apalagi membosankan untuk disimak. Death Metal? Sepertinya Infernal War di “Axiom” memang lebih tepat untuk dideskripsikan sebagai Death Metal. Aspek-aspek Black Metal yang membuat mereka sangat unik sebagai pengusung Blackened Death Metal di 2 full length album sebelumnya adalah sangat minimal ditemukan di album ini. Herr Warcrimer dan kawan-kawan pun sudah dengan ‘resmi’ melepas corpse paint mereka. Akan tetapi hal ini tidaklah membuat Infernal War menjadi krisis identitas, melainkan justru semakin menguatkan eksistensi mereka sebagai pengusung War (Death) Metal dengan sound dan ciri khas mereka sendiri. Continue reading

GORGOROTH “Destroyer” (1998): Album Paling Berantakan Sekaligus Terbaik dari Sang Punggawa ‘True Norwegian Black Metal’

Infernus Gorgoroth 1

Roger “Infernus” Tiegs: sang gitaris, musisi multi-instrumen, komposer, dan konseptor dari Gorgoroth. Album Gorgoroth di tahun 1998 yaitu “Destroyer” adalah album yang ‘berantakan’ dan lebih tepat disebut sebagai album solo Infernus karena dia adalah satu-satunya musisi yang konsisten terlibat di setiap track. Foto: http://gorgoroth.info.

Gorgoroth Destroyer

Reviewed by: Riki Paramita

GORGOROTH adalah band yang penuh kontroversi, dicintai dan sekaligus dibenci oleh publik di skena Black Metal. Mulai dari kontroversi mengenai sikap, pendapat, dan pernyataan dari Roger “Infernus” Tiegs – sang Gitaris dan konseptor Gorgoroth – di media, masalah dispute dari nama Gorgoroth yang sampai melibatkan pengadilan, sampai ke arah bermusik Gorgoroth yang seringkali bereksperimen ke area yang mengejutkan bagi para fans mereka. Fans Gorgoroth sendiri secara garis besar terbagi 2: pertama adalah kelompok yang fanatik dengan sound klasik dari Norwegian Black Metal, terutama di periode awal kelahiran 2nd wave Black Metal. Kelompok ini sangat memuja album “Pentagram” (1994), “Antichrist” (1996), dan “Under the Sign of Hell” (1997). Kelompok kedua adalah yang pro terhadap Gorgoroth di era Kristian “Gaahl” Espedal dan Tom “King” Visnes berada di balik creative forces Gorgoroth. Kelompok kedua ini akan sangat menyanjung “Incipit Satan” (2000), “Twilight of the Idols” (2003), dan “Ad Majorem Sathanas Gloriam” (2006).

FYI, Decibel Magazine menempatkan “Incipit Satan” di peringkat 68 pada edisi ‘Top 100 Black Metal Albums of All Time.’ Sementara “Pentagram” dan “Antichrist” adalah berturut-turut di peringkat 101 & 102 (di luar Top 100). Sepertinya Decibel Magazine adalah termasuk di kelompok ke-2, yaitu lebih apresiatif terhadap Gorgoroth di era Gaahl & King. Black Metal memang bukan soal peringkat apalagi Top 100-an. 🙂 Akan tetapi apabila ditanya, album Gorgoroth mana yang menurut anda terbaik, maka kira-kira apa jawaban anda para pembaca? Bersama ini Beyondheavymetal.com setelah melakukan analisis awam yang penuh preferensi pribadi memberikan penilaian bahwa album Gorgoroth yang berkategori terbaik justru berada di periode yang penuh kekacauan setelah trilogi “Pentagram” – “Antichrist” – “Under the Sign of Hell” dan sebelum “Incipit Satan”, yaitu album “Destroyer, or How to Philosophize with the Hammer” yang dirilis di tahun 1998. Seburuk apakah album ini? Continue reading

MARDUK “Serpent Sermon” (2012): Menyimak Nyanyian Sang Ular Berbisa dari Skandinavia

Marduk 2012 2

Marduk dengan formasi 2012: Lars Broddesson (Drum), Daniel “Mortuus” Rostén (Vokal), Magnus “Devo” Andersson (Bass), dan Morgan Hakansson (Gitar). Marduk menghasilkan “Serpent Sermon” di 2012 sebagai salah satu album mereka yang paling evil dan gelap. Foto: http://marduk.nu.

Marduk Serpent Sermon

Reviewed by: Riki Paramita

Setelah “La Grande Danse Macabre” Tour di awal tahun 2002, drummer Fredrik Andersson yang sudah 9 tahun duduk di belakang drum kit Marduk tidak lagi terlihat antusias untuk meneruskan hari-harinya bersama Marduk. Emil Dragutinovic kemudian direkrut untuk menggantikan Fredrik di belakang drum kit. Setelah selesainya album “World Funeral” (2003) dan tur untuk album tersebut di 2004, vokalis Erik “Legion” Hagstedt menghilang dan tidak pernah muncul lagi di sesi latihan Marduk. Padahal Marduk pada saat itu sedang intensif mempersiapakan materi baru. Langkah Erik “Legion” kemudian diikuti oleh bassist Roger “B-War” Svensson. Maka tinggallah Morgan Hakansson berdua dengan Emil Dragutinovic yang relatif masih baru dengan Marduk. Morgan kemudian bertekad untuk membangun kembali Marduk dengan merekrut Magnus “Devo” Andersson untuk posisi bassist (sebelumnya Devo pernah bermain di Marduk sebagai gitaris pada periode 1992-1994), dan Daniel “Mortuus” Rostén sebagai vokalis yang baru. Dan era Marduk dengan Mortuus sebagai frontman pun dimulai. Mortuus kemudian tidak hanya menjadi frontman Marduk, melainkan juga mempengaruhi arah bermusik Marduk di album-album berikutnya. Continue reading

MARDUK “Frontschwein” (2015): Kembalinya Sang Maestro War Black Metal Skandinavia ke Garis Depan Peperangan

Marduk Band 2015 3

Marduk dengan formasi dahsyat di 2015: Morgan Hakansson (Gitar), Daniel “Mortuus” Rostén (Vokal), Fredrik Widigs (Drum), dan Magnus “Devo” Andersson (Bass). Sang maestro War Black Metal Skandinavia telah kembali dengan “Frontschwein” (2015), nyanyian peperangan mereka yang terbaru. Foto: http://marduk.nu.

Marduk Frontschwein

Reviewed by: Riki Paramita

MARDUK, sang maestro War Black Metal dari Swedia telah kembali dengan nyanyian perang mereka yang terbaru yaitu “Frontschwein” (atau ‘front line soldier’ dalam Bahasa Inggris). Album ini dirilis pada Januari 2015 yang lalu, yang merupakan album (full length) ke-13 dari Marduk, dan yang kedua dengan tematis Perang Dunia II (PD II), setelah “Panzer Division Marduk” (1999). Tema mengenai PD relatif sedikit pada 6 album Marduk yang dirilis di periode antara “Panzer Division…” dan “Frontschwein”, akan tetapi Marduk pada dasarnya masih memegang teguh akar War Black Metal mereka, dimana hal ini tercermin di EP atau live album mereka seperti “Iron Dawn” (EP, 2011) atau “Warschau” (live, 2005). Album ke-13 ini juga merupakan album yang pertama dengan Fredrik Widigs di belakang drum kit. Drum kit Marduk dalam hal ini kembali ‘memakan korban’ setelah Lars Broddesson mengalami cedera pada punggungnya. Drummer sebelumnya yaitu Emil Dragutinovic yang meninggalkan Marduk pada tahun 2006 adalah juga karena cedera fisik (pergelangan tangan). Apakah cedera fisik yang diderita para drummer ini berhubungan dengan musik Marduk yang sangat agresif di sektor drum? 🙂 Tentunya hanya Lars dan Emil yang paling mengerti jawabannya. Yang pasti, ‘genderang perang’ Marduk pada saat ini berada di tangan Fredrik Widigs yang masih berusia 26 tahun. Energi muda Fredrik tentunya sangat dibutuhkan oleh rekan-rekannya yang lain yang rata2 sudah berusia 40 tahun. Continue reading

Sebuah Agresi Black Metal dari Swedia: Mengenang MARDUK “Panzer Division Marduk” (1999)

Marduk - The Black Metal War Machine

Marduk dengan formasi 1999: Fredrik Andersson (Drums), Erik “Legion” Hagstedt (Vokal), Roger “Bogge” Svensson (Bass), dan Morgan “Evil” Hakansson (Gitar). Tag “Panzer Division Marduk – The Black Metal War Machine” pada CD sleeve album ini adalah sebuah pernyataan terbuka mengenai konsep album dan arah musik Marduk di tahun-tahun berikutnya. Foto: http://wallpaperest.com.

Marduk - Panzer Division Marduk

Reviewed by: Riki Paramita

Kapankah sub-genre War Black Metal pertama kali diinisiasikan? Album Black Metal manakah yang dapat dikatakan sebagai yang pertama di sub-genre War Black Metal? Pertanyaan sederhana seperti di atas akan menghasilkan bermacam-macam jawaban yang masing-masingnya bisa jadi mempunyai penjelasan yang sama-sama representatif. Akan tetapi apabila pertanyaannya adalah mengenai 5 album War Black Metal yang paling berpengaruh di skena Black Metal dunia, maka saya yakin bahwa album “Panzer Division Marduk” (1999) dari Marduk akan selalu berada di dalam daftar jawaban para Metalhead. “Panzer Division Marduk” bukanlah album War Black Metal yang pertama. Akan tetapi album inilah yang mengangkat sub-genre War Black Metal menjadi lebih populer melalui penggarapan tema album, lirik, dan artwork yang konsisten dengan tema di seputar peperangan (terutama perang dunia II/ PD II). Pada CD sleeve album ini kita juga dapat melihat frase “Panzer Division Marduk – The Black Metal War Machine” yang seolah-olah merupakan sebuah shifting, dan self concept yang baru dari Marduk ketika itu. Continue reading

WARKVLT “Merdeka” (2015): Ketika Black Metal Bertemu dengan Konsep Nasionalisme, Patriotisme, dan Naskah Proklamasi

Warkvlt 2015

WARKVLT, dengan formasi 2015: Sigit Abaddon (Vokal), Abah Desecrator (Gitar), Heri The Abyss (Bass), dan Riyan Blastphemy (Drum). Formasi dahsyat yang menghasilkan album “Merdeka” yang merupakan langkah besar bagi Warkvlt dan skena Black Metal/ Extreme Metal nasional secara umum.

Article written by: Riki Paramita

Warkvlt - Merdeka

“Instead of looking around for sonic inspiration from other bands, we’d rather listen to ourselves, our intuition and inner spirit, to grant us that inspiration.”

– Adam “Nergal” Darski (Terrorizer Magazine, #245, February 2014).

Warkvlt, sang pendekar War Black Metal dari bumi Pasundan merilis album terbaru mereka yang berjudul “Merdeka” di awal tahun 2015 ini. “Merdeka” adalah full length album mereka yang pertama sebagai Warkvlt, setelah sebelumnya sempat merilis satu album ketika mereka masih memakai nama Impish. Kita dapat melihat dengan sangat jelas bahwa pergantian identitas menjadi Warkvlt seperti sebuah pernyataan terbuka mengenai konsep bermusik mereka yang semakin dalam bereksplorasi di area War Black Metal dengan inspirasi dan influence yang kental dari Marduk di era “Panzer Division Marduk” (1999) atau Infernal War di era “Redesekration…” (2007). Akan tetapi sejalan dengan quote dari Adam “Nergal” Darski di awal tulisan ini, bahwa akan ada suatu periode di dalam perjalanan kreativitas sebuah band dalam memformulasikan konsep diri mereka (self concept) untuk lebih mengenali dan mendalami root dari diri mereka sendiri ketimbang pengaruh eksternal dari literatur atau band-band lainnya. Warkvlt pun mengalami proses metamorfosis seperti ini: melakukan pencarian dan inspirasi jauh ke dalam jiwa mereka sendiri sebagai anak-anak dari bumi Pasundan, dan sebagai jiwa-jiwa yang terlahir di bumi yang menjadi bagian dari cita-cita besar, yaitu kepulauan Nusantara. Sebagai musisi yang terlahir di bumi Indonesia. Sebagai orang Indonesia. Soul searching ini membawa Warkvlt ke dalam format bermusik yang sama sekali baru dan sangat radikal apabila dilihat dari perspektif Black Metal secara tradisional: Nusantara War Metal! Sebagai salah satu mata rantai dari derivatif post War Black Metal yang diinisiasikan di Skandinavia. Continue reading

METALLICA “Lords of Summer” (2014, Single): Menuju Mahakarya Selanjutnya dari Sang Maestro

Metallica 2014

Metallica di 2014: Kirk Hammett (Gitar), Lars Ulrich (Drum), James Hetfield (Vokal, Gitar), dan Robert Trujillo (Bass). Lords of summer have returned! Foto: http://www.facebook.com/metallica.

Metallica Lords of Summer

Reviewed by: Riki Paramita

Sebelum membahas single dari METALLICA “Lords of Summer” yang baru dirilis pada 20 Juni 2014 yang lalu (untuk versi iTunes), marilah kita tanyakan ke diri kita sendiri: kapan terakhir kali Metallica benar-benar memukau kita dengan materi-materi yang dikategorikan baru? Bagi saya, Metallica moment terakhir adalah ketika mendengarkan “Enter Sandman” untuk pertama kalinya pada tahun 1991. Sudah lama sekali. Sebelum “Enter Sandman”, Metallica moment adalah ketika saya mengalami pergeseran paradigma dalam preferensi musik setelah mendengarkan “Master of Puppets” dan “Blackened” untuk pertama kalinya. Terutama “Blackened”, permainan cepat James dan Kirk benar-benar merombak preferensi saya yang sebelumnya didominasi oleh sound seperti Whitesnake dan Iron Maiden. Akan tetapi, hari itu sudah lama berlalu. Setelah itu Metallica cenderung untuk mengeluarkan rilisan yang (menurut saya) mengecewakan, dan membuat preferensi saya semakin jauh dari Metallica. Saya sempat berharap banyak pada “Death Magnetic” yang dirilis pada 2008 yang lalu. Akan tetapi album ini pun ‘kalah bersaing’ di player saya dengan rilisan2 lainnya pada periode tersebut seperti misalnya Dream Theater “Black Clouds and Silver Linings.” Sehingga saya pun dapat memahami kalau kemudian Metallica meraih sukses besar melalui tur mereka yang didominasi oleh track2 klasik dari periode awal sampai black album (1983-1991). Materi-materi dari periode awal sampai black album secara telak mengalahkan materi-materi pasca black album. Metallica di abad 21 ternyata masih mengandalkan “Creeping Death”, “Master of Puppets”, “Enter Sandman”, atau “One”. Akan tetapi, para fans (termasuk saya) sebenarnya masih mempunyai keyakinan bahwa Metallica akan kembali menghasilkan sebuah karya masterpiece di abad 21 ini. Continue reading

MAYHEM “Ordo Ad Chao” (2007): Sebuah Konsep Kolaboratif Antara Progresivitas dan Pendekatan Klasik Necro Sound

Mayhem 2007 2

Mayhem formasi 2007: Jørn “Necrobutcher” Stubberud (Bass), Jan Axel “Hellhammer” Blomberg (Drum), Attila Csihar (Vokal), dan Rune “Blasphemer” Eriksen (Gitar).

Reviewed by: Riki Paramita

“As for “Ordo” (“Ordo Ad Chao”) I wanted everything to sound like sh#t, more or less. No joke. I wanted a really disturbing and muddy sound, totally opposite of “Chimera” and especially “Grand Declaration of War”, which both are very sterile, cold and clear sounding.” – Rune “Blasphemer” Eriksen

Saya adalah termasuk fans yang tidak antisipatif terhadap album MAYHEM “Ordo Ad Chao” (2007) ketika pertama kali mendengarkan album ini. Tidak antisipatif dalam arti belum sekalipun membaca resensi dari album ini sampai pada saat first listening. Ketika pertama kali mendengarkan sound Mayhem di track pertama “A Wise Birthgiver” saya masih belum mengerti arah dari Mayhem di album ini karena track ini adalah lebih bersifat sebagai sebuah intro ketimbang sebuah full track walaupun sudah ada riffing gitar dan drumming, dan kurang lebih sama dengan “Sylvester Anfang” pada “Deathcrush” (1987) atau “The Vortex Void of Inhumanity” pada “Wolf’s Lair Abyss” (1997) yang lebih tepat disebut sebagai rangkaian noise yang absurd dan random ketimbang sebuah track.

Mayhem Ordo Ad Chao 2007

Dan ketika track ke-2 “Wall of Water” baru dimulai beberapa detik yang ditandai dengan riffing pembuka oleh Rune “Blasphemer” Eriksen dan drumming Jan Axel “Hellhammer” Blomberg, saya malah berpikir bahwa ada yang merubah setting-an audio saya, sehingga suara yang dihasilkan menjadi sangat kasar, blurr, berat, sekaligus mixed up antara instrumen yang satu dengan yang lainnya. Ketika menyadari bahwa setting-an audio saya masih sama dengan semula, barulah saya sadar bahwa memang seperti inilah sound Mayhem di “Ordo Ad Chao”: Mayhem dengan berani melakukan langkah yang penuh risiko dengan kembali ke konsep Necro Sound/ Low Fidelity Black Metal. Apakah langkah ini dilakukan sebagai jawaban terhadap tuntutan para fans supaya Mayhem kembali melahirkan the next “De Mysteriis Dom Sathanas” (1994)? Entahlah. Karena sound yang dihasilkan adalah lebih gelap dan lebih necro dibandingkan dengan “De Mysteriis…” Pada saat itu saya sangat terkejut karena tidak menyangka bahwa Mayhem di era Rune “Blasphemer” Eriksen akan kembali ke konsep Necro Sound. Saya lebih terkejut lagi karena yang bertindak sebagai produser di “Ordo Ad Chao” adalah Rune “Blasphemer” sendiri. Seburuk apakah Necro Mayhem di tangan Rune “Blasphemer” Eriksen? 🙂 Continue reading

Yang Terbaik dari Era Rune “Blasphemer” Eriksen: Mengenang MAYHEM “Chimera” (2004)

Rune Eriksen

Rune “Blasphemer” Eriksen, sang gitaris dan komposer dari Mayhem pada periode 1995 – 2008. Lebih baik dari Øystein “Euronymous” Aarseth?

Reviewed by: Riki Paramita

Siapakah komposer terbaik di MAYHEM? Sebuah band yang sering disebut-sebut sebagai godfather untuk 2nd wave Black Metal. Sebuah band yang mempunyai peranan paling signifikan di gelombang kedua kelahiran Black Metal di Norwegia pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Sebuah band dimana karya-karya para musisi di dalamnya seringkali dianggap sebagai benchmark yang paling penting dalam menentukan arah Black Metal di masa depan. Dengan demikian, sang penulis musik/ komposer di Mayhem pun dengan sendirinya akan menempati posisi yang sangat signifikan di perkembangan Black Metal, sebagai sebuah mutasi paling gelap dari Heavy Metal. Secara garis besar, kita dapat membagi periode di Mayhem menjadi 3 periode dari 30 tahun eksistensi band ini di skena Black Metal dunia. Selama 30 tahun memainkan Black Metal! Periode pertama adalah periode yang dimulai dari kelahiran Mayhem pada demo “Pure Fu##ing Armageddon” (1986) sampai dirilisnya “De Mysteriis Dom Sathanas” (1994): periode yang merupakan sebuah ‘pencarian’ untuk blue print Norwegian Black Metal, baik dalam bentuk prototype sound seperti “Deathcrush” (1987) dan “Live in Leipzig” (1993), sampai mencapai maturity di “De Mysteriis…” melalui inovasi dan kreativitas dalam bentuk Necro Sound yang dingin. Pada periode ini penulis musik yang paling signifikan adalah Øystein “Euronymous” Aarseth (Gitar), sang godfather Norwegian Black Metal. Periode kedua adalah interval yang dimulai dari inisiatif “Wolf’s Lair Abyss” (1997), dan berakhir di “Ordo Ad Chao” (2007). Periode ini adalah masa dimana departemen komposer untuk Mayhem adalah dihuni oleh Rune “Blasphemer” Eriksen. Sebuah periode ekspansif untuk arah musik Mayhem yang sekaligus juga mendefinisikan arah Black Metal di masa depan.

Mayhem Chimera 2004

Periode ketiga adalah periode sepeninggal Rune Eriksen (Catatan: Rune Eriksen meninggalkan Mayhem pada 2008 karena merasa kreativitasnya sudah mencapai ‘batasnya’): periode setelah “Ordo Ad Chao” dan membuahkan satu full length album yaitu “Esoteric Warfare” (2014) yang akan dirilis pada bulan Juli 2014 yang akan datang. Siapakah komposer utama di era ini? Komposer utama Mayhem pada periode ini adalah Morten “Teloch” Iversen yang merupakan muka baru untuk Mayhem (tanpa keterkaitan dengan Mayhem di era-era awal) akan tetapi cukup disegani di skena Black Metal dunia melalui karya-karyanya di Nidingr dan Nunfu##ritual. Siapakah yang terbaik diantara mereka bertiga? Tentu saja jawaban ini akan sangat sarat subjektivitas dan preferensi pribadi. Era Øystein “Euronymous” Aarseth yang walaupun hanya menghasilkan 1 full length album, akan tetapi justru album ini disebut-sebut sebagai ‘satu-satunya’ album Mayhem (“De Mysteriis Dom Sathanas” 1994), terutama di kalangan para purist yang fanatik dengan Necro Sound atau low fidelity Black Metal. Sementara era Rune “Blasphemer” Eriksen menghasilkan 3 full length album melalui “Grand Declaration of War” (2000), “Chimera” (2004), dan “Ordo Ad Chao” (2007). Tulisan saya kali ini adalah sebuah apresiasi untuk album “Chimera” sebagai rilisan terbaik Mayhem di era Rune Eriksen sebagai komposer. Continue reading

WARKVLT/ SEREIGNOS “Blasphemous Alliance” (2014, Split): Menyimak Kiprah Si Anak Nakal di Skena Black Metal Tanah Air

Warkvlt 2014

Warkvlt, dengan formasi trio di 2014: Sigit Abaddon (Vokal), Riyan Blasphemy (Drum), dan Abah Desecrator (Gitar). Warkvlt adalah salah satu pionir yang paling konsisten dalam format War Black Metal di skena Black Metal tanah air.

Warkvlt & Sereignos Blasphemous Alliance

Reviewed by: Riki Paramita

Apabila tanah Papua kita kenal sebagai gudang talenta untuk pemain sepakbola di skala nasional, maka Bandung adalah gudangnya talenta untuk musisi Extreme Metal (tanpa bermaksud merendahkan Persib Bandung :-)). Di sinilah inovasi di skena Extreme Metal nasional diinisiasikan dan menjadi bagian dari urban culture/ sub-culture di masyarakatnya. Talenta-talenta yang muncul tidaklah hanya untuk skala nasional saja, melainkan juga untuk skala internasional dengan potensi yang sejajar dengan para raksasa Asia seperti Sigh, Sabbat, Impiety, atau Chthonic. Dimulai dari inovator di era awal seperti Jasad, Sacrilegious, Hellgods, Tympanic Membrane, atau Sonic Torment, sampai dengan generasi band yang lahir di 2013/ 2014. Salah satu band yang lahir di era 2013/ 2014 yang cukup mencuri perhatian adalah WARKVLT, si anak nakal di skena Black Metal tanah air. Kenapa saya menyebutnya si anak nakal? Karena ide, inovasi, kemampuan berpikir di luar pola pikir yang umum, dan konsistensi/ persistensi dalam berkarya adalah sangat jarang ditemukan di dalam sosok ‘good boy.’ Literatur manajemen modern menyebut orang-orang seperti ini sebagai ‘wild ducks’ atau ‘wild birds’ dimana terminologi ini diadopsi dari perilaku wild birds yang selalu terbang tinggi bersama kelompoknya, selalu dinamis dan mengeksplorasi daerah-daerah atau teritori baru, tidak pernah merasa settle, dan dalam banyak kasus justru para wild birds ini yang menemukan daerah yang paling subur. Sebuah analogi untuk pribadi-pribadi yang dinamis dan selalu berorientasi inovasi. Continue reading

DEICIDE “In The Minds of Evil” (2013): Sebuah Album yang Setara dengan Rilisan Mereka di 90-an (?)

Deicide 2013

Deicide, sang veteran Death Metal dengan formasi 2013: Jack Owen (Gitar), Kevin Quirion (Gitar), Steve Asheim (Drum), dan Glen Benton (Vokal, Bass).

Deicide-In The Minds of Evil

Reviewed by: Riki Paramita

DEICIDE kembali merilis album terbaru mereka pada akhir 2013 yang lalu, yaitu “In The Minds of Evil”, dimana menurut Steve Asheim (drummer Deicide) agresi mereka yang terbaru ini adalah lebih gelap dari segi lirik dan mempunyai vibe yang mirip dengan “Legion” (1992). Pernyataan Steve Asheim tentang lirik sepertinya tidak akan terlalu ditanggapi oleh para fans. Deicide adalah Deicide, semua track adalah driven by hatred. Sementara itu mengenai vibe yang mirip dengan “Legion” sepertinya juga akan ditanggapi dengan dingin oleh para fans, karena pernyataan ini bukanlah yang pertama, dan para fans senantiasa dipenuhi oleh kekecewaan atau sedikit kecewa setelah menyimak album yang dimaksud. “Legion” masih sangat susah untuk ditandingi, termasuk oleh Deicide sendiri. “Legion” yang dirilis pada 1992 adalah “Master of Puppets” untuk Death Metal. Signifikan, legendaris, dan susah (atau bahkan tidak mungkin) untuk diulang. Jadi, adalah wajar kalau Deicide “In The Minds of Evil” tidak terlalu diantisipasi oleh para stakeholder Death Metal. Termasuk saya. Seburuk apakah Deicide “In The Minds of Evil”? Continue reading

HELLGODS “Darkness Reborn” (2014, Single): Kembalinya Sang Legenda Black Metal Tanah Air

Hellgods 2014

Hellgods formasi 2014: Reyza (Keyboards), Hariz (Drums), Abu (Vokal), Yoga (Gitar), dan Dedi (Bass). Album baru di 2014? Dengan formasi sekuat ini semuanya masih sangat mungkin.

Hellgods Darkness Reborn 2014

Reviewed by: Riki Paramita

HELLGODS adalah band yang selalu mempunyai tempat tersendiri di perspektif saya sebagai penggemar Black Metal: pertama, tentu saja karena Hellgods adalah band yang berasal dari skena lokal (Bandung). Selalu ada tempat tersendiri untuk band dari skena lokal yang menjadi salah satu pionir di genre-nya. Hellgods adalah salah satu early act dari skena Black Metal di tanah air. Kedua, karena saya sangat menghormati sosok sang frontman, Abu Blackened Ash. Kenapa? Karena ketertarikan saya akan Black Metal adalah dipicu oleh sepucuk surat dan paket kecil yang dikirimkan oleh Abu, 17 tahun yang lalu, ke komunitas Metal lokal di kota kecil tempat tinggal saya dulu. Surat yang kami terima ketika itu adalah sebuah pesan dari Abu untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan Black Metal, sebuah surat yang cukup provokatif yang disertai sebuah kaset rekaman contoh-contoh sound Black Metal (berisikan tracks dari Rotting Christ, Necromantia, Absu, Impaled Nazarene, Graveland, Emperor, dll). Sejak saat itu, virus Black Metal berkembang dengan sangat cepat di kota kecil kami yang tenang: mulai bermunculan band2 yang tampil dengan asesoris spikes dan corpse paint dengan kiblat Bandung Underground (salah satu band perintis di kota kecil kami pada waktu itu meng-cover Sacrilegious dari Bandung), Revograms Zine menjadi bacaan wajib, mailorder mulai dilakukan secara massal (pada saat itu tujuannya adalah Nuclear Blast dan Century Media, keduanya berlokasi di Jerman), dan saya sendiri mulai aktif menyiarkan Black Metal di radio kampus yang mengudara pada malam hari.  Pesan dari Abu Blackened Ash pada saat itu menyebar seperti layaknya sebuah viral message, jauh sebelum era smartphone dan mobility. Mindset saya pun juga ikut berubah: Morbid Angel dan Deicide mulai ditinggalkan, digantikan oleh Satyricon dan Marduk sebagai band favorit, dengan “Walk The Path of Sorrow” dan “Mother North” sebagai war anthem. Kalender pada saat itu menunjukkan angka tahun 1996. Continue reading

Sebuah Inovasi Prematur pada Norwegian Black Metal: Mengenang MAYHEM “Grand Declaration of War” (2000)

Rune Blasphemer Eriksen

Rune “Blasphemer” Eriksen on stage. Album Mayhem “Grand Declaration of War” (2000) adalah hasil karyanya sebagai gitaris dan songwriter di Mayhem, sebagai upaya untuk memperluas sound dari Norwegian Black Metal.

Mayhem Grand Declaration of War 2000

Article written by: Riki Paramita

“Innovation is the creation of viable new offerings” – Larry Keeley (from “The Ten Types of Innovation”, 2013, Deloitte Development LLC).

Norwegian Black Metal atau 2nd Wave Black Metal adalah sebuah inovasi di dalam Extreme Metal, dengan memunculkan beberapa differensiasi pada genre dan sub-genre yang sudah terlebih dahulu eksis, seperti New Wave of British Heavy Metal dan turunannya yang mempunyai sound lebih ekstrim seperti album2 milik Venom, Bathory, atau Celtic Frost. Norwegian Black Metal memenuhi persyaratan untuk disebut sebuah inovasi musik, yaitu diantaranya: new offerings (sound Norwegian Black Metal adalah sangat berbeda dengan para pendahulunya, plus gimmick dan stage act yang digarap dengan sangat serius), menciptakan market yang baru (baik yang sama sekali baru maupun yang sudah ada pada genre atau sub-genre sebelumnya), sustainable/ berkelanjutan (sampai sekarang Black Metal masih ada dan masih ‘menjual’ pada skala niche market), dan profitable (berhubungan dengan sustainability yang dijelaskan sebelumnya, dengan skala niche market).  Seperti halnya sebuah inovasi musik, karya-karya berikutnya dari Norwegian Black Metal membutuhkan semacam benchmark atau album-album yang dijadikan sebagai blueprint. Dua album yang berada pada kategori paling berpengaruh di jalur ini adalah Darkthrone “A Blaze in The Northern Sky” (1991) dan Mayhem “De Mysteriis dom Sathanas” (1994). “A Blaze in The Northern Sky” dari Darkthrone begitu dihormati karena inilah album full length pertama di jalur Norwegian Black Metal. Sementara “De Mysteriis dom Sathanas” milik Mayhem begitu dipuja karena sosok Mayhem yang seringkali dianggap sebagai band yang mendefinisikan sound Norwegian Black Metal untuk pertama kalinya. Darkthrone merubah jalur bermusiknya dari Death Metal ke Black Metal adalah karena pengaruh Mayhem (atau lebih tepatnya, pengaruh dari sang gitaris, Øystein “Euronymous” Aarseth).  Kiblat bermusik yang begitu berpusat kepada album-album berkategori kvlt seperti ini menjadikan Norwegian Black Metal mempunyai semakin banyak pengikut, akan tetapi sound yang dihasilkan adalah cenderung untuk monoton karena begitu berkiblat pada album yang itu-itu saja. Necro sound, raw production. Grieghallen & Pytten style. Band yang keluar dari jalur ini akan ramai2 dihujat sebagai not trve atau fake. Norwegian Black Metal pada saat itu cenderung stagnan. Pada akhir 90-an dan awal 2000-an, para musisi Norwegian Black Metal mulai berpikir untuk ekspansi: memperluas definisi Norwegian Black Metal dengan mengeksplorasi sound2 yang baru. Salah satunya adalah Mayhem, sang godfather, yang paling trve dari seluruh True Norwegian Black Metal. Continue reading