10 Alasan Kenapa Para Metalhead Sejati (Seperti Anda) Membutuhkan BABYMETAL

BABYMETAL (Yui Mizuno, Suzuka Nakamoto, Moa Kikuchi): sebuah fusion yang ganjil antara Heavy Metal, kultur kawaii idol, dan girl band. Foto: babymetal.net

Babymetal, live di Wembley Stadium (2016). Foto: babymetal.net

Article written by: Riki Paramita

Ketika kontroversi BABYMETAL muncul di sekitar 2013 dan 2014 silam, saya pada saat itu berpendapat bahwa hal tersebut hanyalah sensasi dan hype belaka yang akan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Akan tetapi yang semula hanya dianggap sebagai sensasi dan hype malah menjadi persisten. Babymetal mulai mendapatkan dukungan dari para musisi senior di ranah Heavy Metal dan turunannya: tidak kurang dari Metallica, Megadeth, sampai Alice Cooper dan Rob Halford menyatakan dukungan ‘terbuka’ untuk eksistensi Babymetal. Babymetal juga mendapatkan award prestisius seperti Kerrang! Award dan MTV Music Award. Babymetal tampil sepanggung dengan mulai dari Guns N’ Roses sampai Metallica! Babymetal tampil di depan 50-an ribu crowd di station Wembley. Babymetal eksis di tangga album Billboard 200. Dan kemudian apa yang diinisiasikan oleh Babymetal berkembang menjadi sub-genre Kawaii Metal (‘Cute Metal’) dimana mulai bermunculan band-band sejenis dengan style ini (misalnya, ada Pritz, sebuah band ‘Babymetal dari Korea’). Akhirnya saya sadar: Babymetal tidaklah dapat dihentikan (unstoppable)! Dan saya tidak dapat lagi menyangkal eksistensi dan dampak yang mereka timbulkan. Bersama tulisan kali ini saya berusaha (sekali lagi, berusaha) untuk mencari sisi positif dari eksistensi Babymetal. Apabila dalam beberapa bagian terdengar seperti sebuah lelucon sarkastik, skeptis, dan ‘kurang ikhlas’, harap dimaafkan. Karena memang demikian adanya. 😀 Berikut adalah 10 alasan ‘pembenaran’ terhadap keberadaan Babymetal dan dampak positifnya terhadap anda – para Metalhead sejati.

Continue reading

Menyimak Aksi Sang Iblis Norwegia di Atas Panggung: GORGOROTH Live di Hammersonic 2016, Jakarta

Gorgoroth Live 15Reported by: Riki Paramita

  • Event: Hammersonic – Jakarta International Metal Festival 2016
  • Venue/ Tanggal: Ancol Ecopark Jakarta/ 17 April 2016
  • Event Organizer: Hammersonic Festival

Waktu pada saat itu sudah menunjukkan pukul 19:15 WIB. Sementara saya masih ‘terperangkap’ di panggung indoor Soul of Steel di hari kedua Hammersonic Festival 2016. Hujan yang turun dengan cukup lebat telah membuat sebagian besar massa yang pada awalnya berada di area festival (panggung Hammer & Sonic) terpaksa ‘mengungsi’ ke panggung Soul of Steel yang tertutup, dimana Burgerkill sedang tampil. Sekilas saya dapat melihat bahwa Burgerkill tampil dengan sangat prima dan massa yang memadati area di depan panggung seperti langsung ‘terbakar’ di track pertama yang dimainkan Ebenz dan kawan-kawan. Tidaklah salah kalau mereka disebut-sebut sebagai salah satu yang terdepan di skena Metal tanah air. Akan tetapi pikiran saya tidaklah tertuju ke aksi dahsyat Burgerkill di atas panggung, melainkan ke panggung Hammer dimana 15 menit lagi (19:30 WIB) GORGOROTH akan tampil! Ya, saya berada di venue Ecopark pada hari itu tidaklah untuk menikmati Festival Hammersonic secara keseluruhan, melainkan hanya untuk menonton aksi Gorgoroth! Saya cukup yakin bisa melihat lagi aksi Angra atau Suffocation (lagi) di kemudian hari. Akan tetapi kalau Gorgoroth? Band sinting Norwegia ini hanya pernah sekali tampil di region Asia, dan aksi mereka di event Hammersonic 2016 ini adalah yang kedua (setelah yang pertama di Bogor pada April 2015 yang lalu)! Chances, saya harus ‘mengejar’ mereka sampai ke Eropa atau Amerika apabila tidak sempat melihat aksi mereka di Hammersonic 2016. Sehingga ketika saya mendapatkan konfirmasi bahwa Gorgoroth positif tampil di Hammersonic 2016, segala aktivitas pekerjaan di bidang consulting mengalami reschedule, hotel Mercure di Ancol langsung di-booking sehingga saya masih bisa bekerja secara mobile dengan lokasi yang sangat dekat dengan venue Hammersonic! Objective: untuk melihat Gorgoroth, sang iblis Norwegia, tampil live di atas panggung! Akan tetapi menjelang 19:30 pada hari itu, hujan masih turun!

Continue reading

NEUROTIC OF GODS “The Night Domination” (2002): Mengenang Salah Satu Karya Terbaik yang Terlupakan dari Skena Black Metal Tanah Air

Ade Black Wizard NOG

Ade Black Wizard, salah satu frontman Black Metal terbaik di negeri ini. Jejak langkah Kang Ade dan NOG melalui “The Night Domination” adalah salah satu pencapaian yang signifikan di skena Black Metal tanah air.

NOG The Night Domination

Reviewed by: Riki Paramita

Band lokal manakah yang paling signifikan pengaruhnya dalam meletakkan dasar-dasar dan mendefinisikan arah perkembangan Black Metal di skena tanah air? Apabila pertanyaan ini diajukan ke 100 responden di domain Black Metal tanah air maka niscaya kita akan mendapatkan 1000 jawaban! Karena pertanyaan seperti ini tidaklah dapat dijawab hanya dengan menyebutkan 1 nama band saja karena skena Black Metal di tanah air adalah sama dengan pertumbuhan skena lainnya yaitu tumbuh dan berkembang secara kolektif dan kolaboratif dari para pelakunya. Nyanyian kegelapan berkumandang di bumi Nusantara adalah sebagai wujud kontribusi individual sekaligus kolaborasi dari para insan Black Metal tanah air mulai dari Sumatera, Jawa, sampai Indonesia bagian tengah dan timur. Apabila pertanyaan tadi dikembangkan menjadi band lokal mana saja yang berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan skena Black Metal tanah air, maka jawaban dari para responden juga akan sangat dipengaruhi oleh subjektivitas, demografi, dan usia. Akan tetapi nama-nama yang disebut tidaklah akan jauh dari the great Kekal, the evil Sacrilegious, the mighty Hellgods, Dry, Soulsick, 2 Durhaka (Bali & Manado), Ritual Orchestra, Warkvlt, Djiwo, atau Vallendusk. Tanpa bermaksud mengecilkan kontribusi dan peranan nama-nama besar tadi, bersama tulisan ini saya ingin mengangkat cerita mengenai album Black Metal yang dapat dikategorikan sebagai salah satu yang terbaik dari skena lokal, yaitu “The Night Domination” dari band asal Bandung, NEUROTIC OF GODS (NOG). Kenapa? Alasan pertama adalah karena “The Night Domination” adalah salah satu karya dari skena lokal yang mempunyai sound yang sangat modern dan inovatif, serta memenuhi segala persyaratan untuk international recognition, baik ketika album ini dirilis pada tahun 2002 maupun pada saat sekarang. “The Night Domination” selama kurun waktu kurang lebih 14 tahun masihlah terdengar sangat fresh, modern, dan everlasting. Kedua, karena saya merasa harus ada tulisan yang menceritakan “The Night Domination” sebagai salah satu literatur klasik untuk skena Black Metal tanah air, sebuah ‘panggilan’ untuk mengangkat cerita yang barangkali sudah terlupakan.

Continue reading

MAYHEM “Wolf’s Lair Abyss” (EP, 1997): Sebuah Mata Rantai yang Terlupakan dari Sang Dewa Black Metal Norwegia

Mayhem 1997 1

Mayhem dengan formasi ‘reformasi’ di 1997: Rune “Blasphemer” Eriksen (Gitar), Jørn “Necrobutcher” Stubberud (Bass), Sven Erik “Maniac” Kristiansen (Vokal), dan Jan Axel “Hellhammer” Blomberg (Drum). Formasi ini merupakan keputusan bersama dari Jørn “Necrobutcher” dan Jan Axel “Hellhammer” untuk meneruskan Mayhem setelah kematian Øystein “Euronymous” Aarseth di tahun 1993.

Mayhem Wolfs Lair Abyss

Article written by: Riki Paramita

Cerita dimulai pada bulan Agustus 1993, kurang lebih 22 tahun yang lalu, di Norwegia yaitu di kota kecil Ski, 22 km dari Oslo. Øystein “Euronymous” Aarseth (Gitar) baru saja dimakamkan. Jørn “Necrobutcher” Stubberud (Bass) yang menghadiri pemakaman, diam seribu bahasa. Jørn sangat terpukul karena kepergian teman baiknya yang sangat tiba-tiba. Jørn “Necrobutcher” dan Øystein “Euronymous” adalah berteman baik, walaupun pada saat kepergian Euronymous hubungan mereka cenderung renggang. Jørn dan Øystein adalah ibarat John Lennon dan Paul McCartney versi Black Metal. Mereka selalu bersama, dan akan saling tukar pikiran mengenai aransemen musik yang sebelumnya sudah mereka rumuskan masing-masingnya, dan jadilah sebuah lagu! Begitulah kelahiran dari “Deathcrush” atau “Freezing Moon”. Sekarang Øystein sudah pergi. Sebelumnya Pelle (Per Yngve Ohlin, aka “Dead”. Vokalis) juga sudah terlebih dahulu meninggalkan Jørn, 2 tahun lebih awal (April, 1991). Jørn memang lebih berduka untuk Pelle ketimbang Øystein. Hubungan dengan Øystein memang cenderung sedang renggang: mereka bertengkar karena Øystein tidak memperlakukan Pelle secara terhormat di hari kematiannya. Øystein menjadikan kematian Pelle (yang meledakkan kepalanya sendiri dengan sebuah shotgun) sebagai sebuah publikasi murahan untuk Black Metal Norwegia. Sensasi khas tabloid. Jørn sangat marah dalam hal ini. Akibatnya Øystein pun tidak mengikutsertakan Jørn dalam proses rekaman debut album Mayhem. Øystein malah mengundang pemain bass tamu untuk rekaman: seorang pretty boy dengan kepribadian psychotic disorder, yaitu Kristian “Varg” Vikernes. Dan kita sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah keputusan terburuk yang pernah diambil oleh Øystein “Euronymous” Aarseth, sang godfather untuk Norwegian Black Metal. Sang pretty boy justru adalah orang yang kemudian mengakhiri hidupnya.

Continue reading

DISSECTION “Storm of the Light’s Bane” (1995): Ketika Menjadi Melodius Adalah Berarti Menjadi Lebih Gelap dan Mengerikan

Dissection Band 1995

Dissection dengan formasi maestro di 1995: Jon Nödtveidt (Vokal, Gitar), Johan Norman (Gitar), Ole Öhman (Drum), dan Peter Palmdahl (Bass). Formasi ini (terutama karena kejeniusan bermusik Jon Nödtveidt) menghasilkan “Storm of the Light’s Bane” (1995) sebagai puncak karya mereka. Sebuah puncak yang tidak pernah lagi tercapai baik oleh Dissection sendiri maupun band lainnya.

Dissection Storm of the Lights Bane

Article written by: Riki Paramita

DISSECTION adalah sebuah nama besar tidak hanya di skena Black Metal Swedia, melainkan juga di skena Black Metal dunia secara global. Disanjung dan dipuji setinggi langit karena pendekatan Melodic Black Metal mereka yang inovatif sekaligus mengerikan, dan banyak menginspirasikan band-band sesudah mereka. Dissection juga mempunyai penjualan album yang relatif tinggi untuk ukuran Black Metal, ditambah dengan cerita-cerita miring di seputar band ini yang justru membuat status mereka menjadi semakin kvlt dan misterius. Cerita tentang Jon Nödtveidt dan Dissection tidaklah kalah miring apabila dibandingkan dengan cerita Mayhem atau band-band ‘jahat’ lainnya dari Norwegia. Jon Nödtveidt, sang gitaris dan vokalis Dissection, tidaklah hanya seorang musisi yang brilian dan produktif menghasilkan karya, melainkan juga sebuah pribadi yang sangat kontroversial: mulai dari keterlibatannya di Misanthropic Luciferian Order (MLO), terlibat kasus pembunuhan dan mendekam selama 6 tahun di penjara, sampai ke kematiannya yang seperti sebuah bunuh diri ritualistik di tahun 2006.

Continue reading

MARDUK “Heaven Shall Burn… When We are Gathered” (1996): Sebuah Cerita Perlawanan dari Kubu Extreme Black Metal Swedia

Marduk Band 1996 11

Marduk dengan formasi 1996: Erik “Legion” Hagstedt (Vokal), Morgan Steinmeyer Hakansson (Gitar), Roger “B-War” Svensson (Bass), dan Fredrik Andersson (Drum). Album “Heaven Shall Burn… When We are Gathered” adalah debut Erik “Legion” sebagai vokalis Marduk dan menandai lahirnya sebuah era: Legion Era!

Marduk Heaven Shall Burn

Article written by: Riki Paramita

“I think the Norwegians go more for the moods, while we go for the brutality” – Erik “Legion” Hagstedt

Kalender menunjukkan angka tahun 1995. Black Metal, atau tepatnya 2nd Wave Black Metal sedang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, tidak hanya di skena Eropa akan tetapi juga di belahan dunia lainnya (termasuk Asia, dan juga Indonesia). Akan tetapi pertumbuhan Black Metal yang ditandai dengan kemunculan band-band baru dan produktivitas yang tinggi dalam menghasilkan karya adalah cenderung ke arah yang simfonik: mengikuti inovasi yang dilakukan oleh Emperor, Dimmu Borgir, atau Gehenna. Para dewa dari Norwegia ini menjadi kiblat dari band-band yang bermunculan pada periode tersebut dalam bermusik dan membangun gimmick. Symphonic Black Metal yang secara intensif menggunakan keyboards/ synthesizers dalam membangun nuansa atmospheric menjadi sebuah simbol dari kematangan dan kedewasaan musik Black Metal, dimana hal tersebut amatlah sangat sulit direpresentasikan melalui low fidelity Black Metal. Trilogi dari Darkthrone pada era tersebut sudah dianggap ketinggalan zaman, dan band seperti Darkthrone juga sudah kehabisan ide dan sangat miskin dalam hal inovasi (jangan membandingkan Fenriz dengan Ihsahn! 😀 ). Ditambah dengan sang godfather, yaitu Mayhem, yang pada saat itu sedang mengalami krisis identitas. Situasi bertambah keruh dengan virus Gothic yang semakin menggerogoti ‘kesehatan’ Black Metal, terutama lengkingan Dani Filth dari tanah Britania. Bagaimana dengan Death Metal? Band-band Swedia dalam hal ini mempunyai ‘dosa yang sangat besar’ terhadap kelahiran Melodic Death Metal atau seringkali disebut dengan Gothenburg sound. Band-band seperti In Flames, At the Gates, dan Dark Tranquillity mulai mengeluarkan karya-karya terbaik mereka. Singkat kata, skena Eropa tidak hanya menjadi simfonik melainkan juga melodius. Band-band yang mengusung speed dan brutality secara pelan namun pasti mulai terpinggirkan.

Continue reading

BELPHEGOR “Conjuring the Dead” (2014): Sebuah Album yang Lahir Setelah Mengintip dari Balik Tirai Kematian

Belphegor Band

Belphegor dengan formasi duet (2014): Helmuth Lehner (Vokal, Gitar), dan Vojtech R. “Serpenth” (Bass). Bersama-sama dengan musisi tamu lainnya, duet ini menghasilkan “Conjuring the Dead” sebagai album studio ke-10 dari sang raksasa Blackened Death Metal asal Austria, sekaligus sebagai album pertama setelah kesembuhan Helmuth Lehner dari komplikasi infeksi Typhus yang mematikan.

Belphegor Conjuring the Dead

Article written by: Riki Paramita

Helmuth Lehner: Mengintip dari Balik Tirai Kematian

Cerita tentang album BELPHEGOR “Conjuring the Dead” (2024) adalah mirip dengan cerita album “The Satanist” dari Behemoth apabila dilihat dari perspektif sang frontman/ konseptor: baik Helmuth Lehner (Belphegor, gitaris/ vokalis/ konseptor) maupun Adam “Nergal” Darski (Behemoth, gitaris/ vokalis/ konseptor) adalah sama-sama memenangkan perjudian mereka dengan sang maut pada saat masing-masing album masih dalam fase penulisan. Apabila Nergal berhasil sembuh dari penyakit Leukemia yang mematikan, maka Helmuth Lehner berhasil sembuh dari komplikasi infeksi Typhus akut yang membutuhkan operasi dan penyembuhan yang panjang (memakan waktu kurang lebih 8 bulan). Komplikasi Typhus yang diderita oleh Helmuth tidak hanya membuat paru-paru sang gitaris menjadi rusak, melainkan juga menimbulkan kerusakan hati (liver), jantung, dan menjalar ke organ tubuh lainnya sampai ke kaki. Secara fisik, Helmuth menjadi lumpuh dan sangat susah untuk menggerakkan badannya sendiri. Singkat kata, Helmuth Lehner benar-benar berada pada kondisi yang fuc#ed up! Infeksi Typhus ini didapat oleh Helmuth ketika Belphegor melakukan tur di Brazil pada tahun 2011. Akibatnya, sisa tur di Amerika Selatan harus dibatalkan dan Helmuth langsung diterbangkan ke kampung halamannya di Austria untuk menjalani perawatan medis intensif. Praktis selama perawatan yang seadanya di Amerika Selatan dan dalam perjalanan menuju Austria, Helmuth berada pada kondisi yang mirip dengan sebuah koma. Helmuth Lehner seolah-olah diberikan kesempatan untuk mengintip dari balik tirai kematiannya sendiri.

Continue reading

MARDUK “World Funeral” (2003): Ketika Sang Serigala Skandinavia Menemukan Kembali Serpihan Jiwa dan Karakternya yang Hilang

Marduk Band 2003 11

Marduk dengan formasi di album “World Funeral” (2003): Erik “Legion” Hagstedt (Vokal), Roger “B-War” Svensson (Bass), Emil Dragutinovic (Drum), dan Morgan Hakansson (Gitar). “World Funeral” adalah album terakhir dengan Legion & B-War yang menandai berakhirnya sebuah era dan dimulainya Marduk di era yang baru.

Marduk World Funeral Cover

Article written by: Riki Paramita

Marduk di Tahun 2001: Mau Kemana Setelah Trilogi Blood, Fire, & Death?

Kalender menunjukkan angka tahun 2001. Pada saat itu, MARDUK – sang mesin perang Black Metal dari Swedia (The Black Metal War Machine), baru saja menyelesaikan album yang merupakan sebuah trilogi dengan konsep yang Bathory-ish, yaitu ‘blood, fire, & death’. Album bertemakan ‘blood’ direpresentasikan oleh “Nightwing” yang dirilis pada tahun 1998. Album dengan tema ‘fire’ adalah “Panzer Division Marduk” (1999) yang monumental. Sementara album dengan topik ‘death’ adalah “La Grande Danse Macabre” pada tahun 2001. Marduk sempat merasa kehabisan kreativitas setelah merilis “Panzer Division Marduk” yang tidak hanya sebuah album yang bersifat groundbreaking, akan tetapi juga sebuah eksperimen yang berani dengan 30 menit (8 tracks) blast beats secara non-stop. Album ini barangkali adalah album Black Metal paling brutal pada saat itu. Mau kemana lagi setelah itu? Mau dibawa kemana arah dari musik Marduk setelah tidak ada lagi ruang gerak untuk agresivitas dan brutality?

Continue reading

MARDUK “Opus Nocturne” (1994): Cerita di Balik Salah Satu Album Black Metal Terbesar Sepanjang Masa

Marduk Band 1994 1

Marduk dengan formasi dahsyat di 1994: Fredrik Andersson (Drum), Morgan Hakansson (Gitar), Joakim Af Gravf (Vokal), dan Roger “B-War” Svensson (Bass). Formasi ini menghasilkan “Opus Nocturne” di tahun 1994, sebagai album yang merupakan transisi musik Marduk ke sound yang lebih cepat & ekstrim, sekaligus mempertegas posisi Swedia di peta Black Metal dunia.

Marduk Opus Nocturne 1

Article written by: Riki Paramita

MARDUK “Opus Nocturne” (1994) sebagai album Black Metal terbesar sepanjang masa? Tentu saja tidak. Sangat sulit tentunya untuk menyebutkan satu album sebagai yang terbesar (tanpa embel-embel ‘salah satu’), apalagi sepanjang masa :-). Para fans Black Metal tentunya juga akan sangat berkeberatan: karena Black Metal tidaklah relevan untuk peringkat seperti halnya Top 40. Akan tetapi apabila pertanyaannya adalah: album Black Metal apa saja yang paling berpengaruh di perkembangan 2nd wave Black Metal? Maka saya yakin Marduk “Opus Nocturne” akan selalu ada di daftar jawaban para stakeholders Black Metal. Kenapa? Karena “Opus Nocturne” adalah sebuah cetak biru yang kuat untuk perkembangan Black Metal ke arah yang ultra agresif & cepat, sebagai jawaban terhadap sub-genre Brutal Death Metal. Marduk dan sang mastermind Morgan Hakansson pada saat itu (awal 90-an) adalah salah satu dari sedikit orang non-Norwegia yang dekat dengan skena Black Metal Norwegia terutama para geng Helvete yang berpusat di sosok Øystein Aarseth aka Euronymous. Sehingga dapat dikatakan bahwa Morgan Hakansson adalah salah seorang ekstensi dari skena Norwegia yang ‘disetujui’ oleh Euronymous. Album “Opus Nocturne” yang dirilis oleh Osmose Productions di akhir tahun 1994 adalah sebuah album yang unik: ultra agresif, cepat, didominasi oleh blast beats drumming, akan tetapi masih mempunyai vibe yang gelap, dingin, jahat, dan suram seperti layaknya karya Black Metal terbaik (dimana dalam banyak kasus, soul Black Metal dan permainan ultra agresif dan cepat adalah bersifat zero sum: saling meniadakan satu sama lainnya). Decibel Magazine menempatkan “Opus Nocturne” pada peringkat 7 di dalam edisi ‘Top 100 Black Metal Albums of All Time’, dimana album ini hanya berada di bawah karya-karya besar lain dari Satyricon, Venom, Emperor, Darkthrone, Mayhem, dan Bathory. Sekali lagi, Black Metal memang bukanlah soal peringkat Top 100-an. Akan tetapi amatlah sukar untuk menyangkal besarnya pengaruh “Opus Nocturne” di perkembangan Black Metal di tahun-tahun berikutnya. Seburuk apakah Marduk “Opus Nocturne”? 🙂 Continue reading

Sebuah Panggung Imajiner: ‘The Big 4 of Death Metal’ Versi Beyondheavymetal.com (Bagian 4 dari 4 Tulisan)

Cannibal Corpse 2014 2

Cannibal Corpse dengan formasi 2014: Alex Webster (Bass), Pat O’ Brien (Gitar), Rob Barrett (Gitar), George “Corpsegrinder” Fisher (Vokal), dan Paul Mazurkiewcz (Drum). Cannibal Corpse mempunyai karakteristik musik yang brutal, straightforward, eksplisit, dengan topik gore yang konsisten, akan tetapi mempunyai penjualan album dengan skala platinum. Foto: Cannibal Corpse Official Facebook.

Article written by: Riki Paramita

Artikel ini adalah bagian terakhir dari 4 bagian tulisan mengenai band2 yang termasuk ke dalam ‘The Big 4’ untuk kategori Death Metal menurut Beyondheavymetal.com. Seperti yang sudah diceritakan di bagian terakhir pada tulisan bagian ke-3, dan sesuai dengan foto di atas, maka tempat teratas ditempati oleh sang tukang jagal dari Florida yang konsisten dengan topik zombie, torture, gore, dan serial killer untuk setiap lagunya, yaitu Cannibal Corpse! Kenapa Cannibal Corpse? Cannibal Corpse adalah salah satu pionir yang paling menonjol untuk genre/ sub-genre Death Metal terutama untuk tema yang berhubungan dengan gore dan turunannya. Karya mereka yang pertama “Eaten Back to Life” (1990) adalah sebuah inovasi yang semakin memperkuat definisi Death Metal yang pada saat itu sedang berada pada proses ‘melepaskan diri’ dari definisi Thrash Metal sebagai sebuah root sound. “Eaten Back to Life” masihlah mempunyai elemen-elemen Thrash Metal yang kental, akan tetapi sudah memperkenalkan template vokal growl yang terdengar sangat psycho dari Chris Barnes, dan tematis gore yang digarap dengan sangat serius, konsisten, akan tetapi masih bersifat karikaturial sehingga tidak cenderung untuk membuat perut menjadi mual :-).  Continue reading

Sebuah Panggung Imajiner: ‘The Big 4 of Death Metal’ Versi Beyondheavymetal.com (Bagian 3 dari 4 Tulisan)

Morbid Angel Live 2011

Morbid Angel on stage: David Vincent (Bass, Vokal), dan Trey Azaghthoth (Gitar). Bersama-sama dengan Thor Anders Myhren (Gitar) dan Tim “The Missile” Yeung, Morbid Angel masihlah sebuah band yang dahsyat di skena Death Metal dunia. Foto: http://www.last.fm

Article written by: Riki Paramita

Artikel ini adalah bagian 3 dari 4 bagian mengenai band2 yang termasuk ke dalam ‘The Big 4’ untuk kategori Death Metal menurut Beyondheavymetal.com. Seperti yang sudah dibahas pada 2 artikel sebelumnya, tempat ke-4 dan ke-3 berturut-turut ditempati oleh Suffocation dan Deicide. Satu dari kubu New York Style dan satu lagi dari bay area atau lebih tepatnya Tampa, Florida. Band yang akan menempati peringkat ke-2 adalah masih ‘bertetangga’ dengan Deicide yaitu di Tampa, Florida. Sesuai dengan foto di atas, tempat ke-2 diduduki oleh Morbid Angel – sang innovator Death Metal yang mendefinisikan arah Death Metal untuk menjadi sangat technical dan rumit melalui permainan gitar (terutama bagian solo/ lead), blast beats intensive, vokal growl, dan juga sekaligus sebagai salah satu dari sedikit band di domain Death Metal yang mencicipi sukses seperti layaknya band yang bersifat mainstream (terminologi mainstream juga tentunya sangat relatif, sekarang ini barangkali Morbid Angel juga sudah termasuk ke dalam kategori mainstream, sejalan dengan semakin populernya Death Metal. Akan tetapi tidak demikian halnya di era akhir 80-an sampai awal 90-an, dimana Death Metal masih sangat underground dan Morbid Angel secara fantastis bisa tampil dengan penjualan album yang sangat tinggi untuk ukuran Death Metal). Sama halnya dengan Suffocation dan Deicide, pemilihan Morbid Angel di posisi ke-2 ini juga berdasarkan pada 6 parameter, yaitu: Continue reading

Sebuah Panggung Imajiner: ‘The Big 4 of Death Metal’ Versi Beyondheavymetal.com (Bagian 2 dari 4 Tulisan)

Deicide 2011 2

Deicide dengan formasi terdahsyat pasca kepergian Brian & Eric Hoffman: Steve Asheim (Drum), Glen Benton (Vokal, Bass), Ralph Santolla (Gitar), dan Jack Owen (Gitar). Formasi ini menghasilkan “The Stench of Redemption” (2006) yang seringkali disebut setara dengan album mereka di 90-an. Foto: http://www.yellmagazine.com.

Article written by: Riki Paramita

Artikel ini adalah bagian 2 dari 4 bagian mengenai band2 yang termasuk ke dalam ‘The Big 4’ untuk kategori Death Metal menurut Beyondheavymetal.com. Subjektif? Tentu saja dalam hal ini subjektivitas akan sangat berperan. Akan tetapi keanekaragaman pendapat di sini adalah hal yang sangat wajar yang justru merupakan salah satu keindahan di dalam sebuah komunitas atau skena (Death) Metal karena hal ini mencerminkan keanekaragaman preferensi dan sudut pandang dari para stakeholder (Death) Metal dimana pada akhirnya akan dapat saling mengisi satu sama lainnya. Seperti halnya genre/ sub-genre musik yang lain, atau bahkan musik secara universal, Death Metal adalah sebuah art. Sebuah legitimate art. Jadi akan relatif susah untuk mengidentifikasikan entity2 yang kita anggap terbaik di bidang yang secara naturnya bukanlah sebuah kompetisi. Kurang lebih analoginya adalah dengan mencoba mengidentifikasikan siapakah yang lebih baik diantara Picasso, Goya, atau Van Gogh. Mozart, Bach, atau Hayden? Adalah relatif susah untuk mengkuantifisir hal yang lebih banyak faktor kualitatifnya. Bersama ini saya ingin menambah polemik dan kontroversi dengan mencoba mengidentifikasikan ‘The Big 4’ untuk genre/ sub-genre Death Metal :-). Dimana pemilihan band2 untuk kategori ini adalah didasarkan pada 6 parameter, yaitu:

Continue reading

Sebuah Panggung Imajiner: ‘The Big 4 of Death Metal’ Versi Beyondheavymetal.com (Bagian 1 dari 4 Tulisan)

Suffocation 2013

Suffocation dengan formasi 2013: Dave Culross (Drum), Terrance Hobbs (Gitar), Frank Mullen (Vokal), Guy Marchais (Gitar), dan Derek Boyer (Bass). Foto: http://www.metal-archives.com

Article written by: Riki Paramita

Musik bukanlah sebuah kompetisi. Walaupun persaingan adalah sesuatu yang umum kita lihat di sebuah skena musik. Musik juga bukanlah untuk dikotak-kotakkan ke dalam kategori-kategori yang terdapat di dalam taksonomi genre musik. Sehingga pengkategorian hanyalah ditujukan sebagai identifier saja, untuk memberikan informasi dalam bahasa yang singkat dan efektif mengenai permainan musik sebuah band tertentu. Sehingga apabila kita mengacu kepada mindset di atas, maka terminologi ‘The Big 4 of Thrash Metal’ yang mencuat beberapa waktu yang lalu akan terdengar sangat absurd dan penuh kontroversi: apakah mereka benar-benar dapat dikategorikan sebagai Thrash Metal? Dimana dalam hal ini kategori Thrash Metal tidaklah secara eksplisit disebutkan. Apabila tidak disebutkan maka akan lebih absurd lagi: the big 4 of what? Dan apakah band2 yang tergabung di dalam ‘The Big 4’ ini benar2 dapat dikatakan sebagai yang terbesar di genre Thrash Metal? Kenapa nama Testament, Overkill, Exodus, atau Nuclear Assault tidak termasuk di dalamnya? Sudahlah, walaupun kontroversial saya yakin tidak satupun dari kita yang membantah kebesaran nama Anthrax, Megadeth, Slayer dan Metallica di skena Metal dunia. Dan saya yakin bahwa kita semua akan sependapat bahwa mega-concert ‘The Big 4’ adalah sangat dahsyat baik dari segi performansi dan finansial (yang dapat teridentifikasi dari besarnya crowd pada konser tersebut). Dan apabila ada sebuah EO yang dapat membawa Anthrax, Megadeth, Slayer dan Metallica ke atas 1 panggung, maka nama apa yang paling sesuai untuk mega-concert ini? Tentu saja ‘The Big 4 of Thrash Metal’! Saya sendiri juga menjadi tidak konsisten dalam hal ini. 🙂

Bersama ini saya ingin menambah polemik dan kontroversi dengan mencoba mengidentifikasikan ‘The Big 4’ untuk genre/ sub-genre Death Metal :-). Dimana pemilihan band2 untuk kategori ini adalah didasarkan pada 6 parameter, yaitu: Continue reading