Nyanyian untuk Bumi Tercinta: Sebuah Sisi Lain dari Extreme Metal

Obituary World Demise

Cover dari album Obituary “World Demise” (1994). Album ini mengambil tema kerusakan lingkungan sebagai akibat dari polusi yang disebabkan oleh emisi karbon yang berlebih dari industri, radioaktif, pembuangan sampah ke sungai-sungai, dan polusi laut sebagai akibat dari eksplorasi/ eksploitasi bahan bakar fosil.

An Inconvenient Truth by Al Gore

Article written by: Riki Paramita

Pemanasan global, efek rumah kaca, atau menipisnya lapisan ozon adalah wacana yang belakangan sering kita temui di media, terutama setelah dirilisnya DVD “The Inconvenient Truth” pada 2006 yang lalu (terlepas dari semua kritik yang bersifat scientific dan kontroversi politis yang menyertainya), yang membuktikan bahwa kondisi atmosfir bumi yang hanya 15-20 tahun yang lalu amatlah sangat berbeda dengan kondisi sekarang. Lapisan es di kutub utara dan selatan yang cenderung untuk berkurang secara signifikan, gleitser yang semakin lama semakin kering, dan yang paling mudah diidentifikasi adalah semakin tingginya suhu pada hari-hari biasa. Pemanasan global ini disebabkan oleh kadar karbon yang semakin hari semakin tinggi di atmosfer bumi, sehingga pantulan sinar matahari dari bumi ke angkasa/ outer space yang berupa sinar infra merah seperti ‘terperangkap’ di atmosfer sebagai akibat dari kondisi atmosfir yang semakin terpolusi. Sinar infra merah yang terperangkap ini dalam porsi yang cukup akan memberikan efek positif terhadap suhu bumi: suhu bumi akan cenderung stabil & live-able. Akan tetapi dalam porsi yang berlebih (excessive), akan menimbulkan ‘efek rumah kaca’ (greenhouse effect) yang akan membuat suhu di permukaan bumi semakin hari semakin tinggi, yang pada akhirnya, pada suatu hari nanti, akan sampai pada kondisi di mana planet kita tercinta tidak lagi live-able.

Barangkali (mudah2an saya salah) sebagian besar dari kita masih belum begitu peduli dan belum begitu mengerti pesan dari DVD “The Inconvenient Truth” yang diprakarsai oleh Al Gore yang juga mantan wakil presiden Amerika Serikat ini. Akan tetapi para musisi Extreme Metal (misalnya: Thrash Metal, Death Metal, Grindcore), sudah sejak lama mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap kondisi planet kita melalui track2 Metal yang meneriakkan apa yang disampaikan oleh Al Gore dan/ atau Green Peace: minimasi/ hentikan polusi, pencegahan pemanasan global (global warming), selamatkan ekosistem di sekitar kita, lindungi dan konservasikan endangered species, yang pada akhirnya dapat menyelamatkan planet biru kita yang tercinta ini. Track2 Metal tersebut diantaranya adalah:

1. KREATOR – “When the Sun Burns Red” (dari album: “Coma of Souls”, 1990)

Continue reading

Dari IMPISH ke WARKVLT: Sebuah Cerita Tentang Progressive Elaboration dan Change Management Versi Black Metal

Desecrator on stage

Desecrator, gitaris dari Warkvlt. Salah satu agresi Black Metal dari Bandung.

Article written by: Riki Paramita

Pada hari Selasa (02.09.13) dan Rabu (03.09.13) yang lalu saya berkesempatan untuk hadir di even Project Management Institute (PMI) Indonesia Chapter yaitu The 3rd International Project Management Symposium & Exhibition (Symex) yang diadakan di The Hilton Bandung. Sebuah acara yang menjadi ‘kewajiban’ bagi setiap penyandang sertifikasi Project Management Professional (PMP®) untuk menambah Personal Development Unit (PDU), saling berbagi pengalaman di bidang manajemen proyek, dan mengembangkan networking. Ada banyak sekali pelajaran dan inspirasi yang bisa didapat dari para pembicara yang tampil: mulai dari akademisi seperti Prof. George Ofori dari NUS, sampai ke para praktisi seperti Amro Elakkad, Robert Gan, Helen Telford, dan Markus Walter. Akan tetapi saya tidak menyangka bahwa pelajaran mengenai manajemen proyek akan terus berlangsung setelah sesi Symex selesai, dimana saya bertemu dengan Desecrator, gitaris WARKVLT, sebuah band Black Metal dari Bandung, di Purnawarman Resto, The Hilton Bandung. Continue reading

Manajemen Perubahan: Cerita Tentang Tom Angelripper dan Gitar Bass-nya

Thomas Sucht Angelripper

Tom Angelripper dari Sodom, band Thrash Metal Jerman.

Article Written by: Riki Paramita

Catatan: versi original dari artikel ini pernah di-posting di mailing list i-Rock!, pada 6 Juni 2007 menjelang konser Sodom di Jakarta.

Ruhr – Gelsenkirchen,  Jerman Barat, 1980: Ruhr, sebuah kota kecil yang terletak di antara Essen dan Bochum, adalah salah satu kota industri yang menyokong sistem industri di tanah Bavaria. Ruhr mensuplai industri di negara Jerman Barat (1980, masih Jerman Barat) dengan hasil tambangnya yang melimpah, seperti batu bara dan biji besi. Masyarakat di kota tsb secara garis besar masih bersifat komunal, yang ditandai dengan sedikitnya keberagaman profesi  dan cara hidup; tidak mengherankan, karena sebagian besar penghuni kota kecil ini berprofesi sebagai pekerja tambang. Profesi yang sejak revolusi industri di Jerman, diwariskan turun temurun oleh seorang bapak ke anaknya, anaknya ke anaknya lagi, dan seterusnya. “Inherited fate” ini terjadi dari satu generasi ke generasi seterusnya.   Singkat kata, masyarakat di kota Ruhr ini seperti terbelenggu dengan rutinitas, pola pikir, dan bahkan “takdir” mereka sebagai pekerja tambang. Sepertinya tidak ada jalan lain untuk hidup. Continue reading