NEUROTIC OF GODS “The Night Domination” (2002): Mengenang Salah Satu Karya Terbaik yang Terlupakan dari Skena Black Metal Tanah Air

Ade Black Wizard NOG

Ade Black Wizard, salah satu frontman Black Metal terbaik di negeri ini. Jejak langkah Kang Ade dan NOG melalui “The Night Domination” adalah salah satu pencapaian yang signifikan di skena Black Metal tanah air.

NOG The Night Domination

Reviewed by: Riki Paramita

Band lokal manakah yang paling signifikan pengaruhnya dalam meletakkan dasar-dasar dan mendefinisikan arah perkembangan Black Metal di skena tanah air? Apabila pertanyaan ini diajukan ke 100 responden di domain Black Metal tanah air maka niscaya kita akan mendapatkan 1000 jawaban! Karena pertanyaan seperti ini tidaklah dapat dijawab hanya dengan menyebutkan 1 nama band saja karena skena Black Metal di tanah air adalah sama dengan pertumbuhan skena lainnya yaitu tumbuh dan berkembang secara kolektif dan kolaboratif dari para pelakunya. Nyanyian kegelapan berkumandang di bumi Nusantara adalah sebagai wujud kontribusi individual sekaligus kolaborasi dari para insan Black Metal tanah air mulai dari Sumatera, Jawa, sampai Indonesia bagian tengah dan timur. Apabila pertanyaan tadi dikembangkan menjadi band lokal mana saja yang berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan skena Black Metal tanah air, maka jawaban dari para responden juga akan sangat dipengaruhi oleh subjektivitas, demografi, dan usia. Akan tetapi nama-nama yang disebut tidaklah akan jauh dari the great Kekal, the evil Sacrilegious, the mighty Hellgods, Dry, Soulsick, 2 Durhaka (Bali & Manado), Ritual Orchestra, Warkvlt, Djiwo, atau Vallendusk. Tanpa bermaksud mengecilkan kontribusi dan peranan nama-nama besar tadi, bersama tulisan ini saya ingin mengangkat cerita mengenai album Black Metal yang dapat dikategorikan sebagai salah satu yang terbaik dari skena lokal, yaitu “The Night Domination” dari band asal Bandung, NEUROTIC OF GODS (NOG). Kenapa? Alasan pertama adalah karena “The Night Domination” adalah salah satu karya dari skena lokal yang mempunyai sound yang sangat modern dan inovatif, serta memenuhi segala persyaratan untuk international recognition, baik ketika album ini dirilis pada tahun 2002 maupun pada saat sekarang. “The Night Domination” selama kurun waktu kurang lebih 14 tahun masihlah terdengar sangat fresh, modern, dan everlasting. Kedua, karena saya merasa harus ada tulisan yang menceritakan “The Night Domination” sebagai salah satu literatur klasik untuk skena Black Metal tanah air, sebuah ‘panggilan’ untuk mengangkat cerita yang barangkali sudah terlupakan.

Continue reading

GORGOROTH “Instinctus Bestialis” (2015): Menyimak Nyanyian Kegelapan dari Sang Iblis Norwegia

Atterigner 1

Atterigner, sang satanis dari Serbia yang menjadi vokalis Gorgoroth di album “Instinctus Bestialis”. Atterigner dan Ørjan “Hoest” Stedjeberg berbagi peran untuk menjadi vokalis di sesi rekaman di studio dan vokalis untuk aksi live di atas panggung. Atterigner adalah satanis tipe studio, sementara Hoest adalah satanis tipe panggung! 😀

Gorgoroth Instinctus Bestialis

Reviewed by: Riki Paramita

“Instinctus Bestialis” adalah album yang dirilis oleh GORGOROTH pada 8 Juni 2015 yang lalu. Sebuah penantian yang cukup lama, karena judul album “Instinctus Bestialis” sendiri sudah diumumkan oleh Gorgoroth melalui situs resmi mereka sejak pertengahan 2013. Menyebalkan? Apabila jawaban anda adalah ‘iya’, maka anda tidaklah sendiri. Setelah eksis selama hampir seperempat abad dengan hingar bingar kontroversi yang tidak pernah surut, apa lagi yang ditawarkan oleh Gorgoroth melalui album ke-10 mereka ini? Catatan: terserah apabila anda menganggap album Gorgoroth adalah 10 atau cuma 8, dimana hal ini juga merupakan sebuah kontroversi. 😀 Melalui sebuah wawancara dengan Decibel Magazine (September 2015), Roger “Infernus” Tiegs, sang gitaris dan konseptor, menjawab mengenai sumber inspirasi dan energinya dalam menghasilkan album Gorgoroth yang terbaru ini. “Satan did”, Infernus menjelaskan. Oke, baiklah kalau begitu. Sepertinya Infernus masih setia dengan ‘perjanjian’ yang dibuatnya dengan sang penguasa kegelapan di tahun 1992 yang silam (“after making a pact with the devil in 1992, Infernus founded Gorgoroth..” seperti yang ditulis di situs resmi mereka). Paling tidak di sini Infernus membuktikan bahwa dia loyal dan konsisten dengan ‘perjanjian’ tersebut. Walaupun terdengar bodoh, paling tidak Infernus masih memperlihatkan sebuah integritas. Jadi walaupun satanis, Infernus masih mempunyai integritas. 😀 “Instinctus Bestialis” yang dirilis melalui Soulseller Records ini dalam pembuatannya dibantu dibiayai oleh komunitas Bergen Kommune. Sementara untuk proses rekaman dan produksi dilakukan di Monolith Studio milik Tomas Asklund, sang drummer untuk 2 album Gorgoroth yang terakhir. Dalam sebuah wawancara dengan Terrorizer Magazine (#260), Infernus menjelaskan bahwa dia sangat menikmati proses pengerjaan “Instinctus Bestialis” dalam periode yang relatif panjang tanpa adanya tekanan dan deadline dari perusahaan rekaman manapun (barangkali termasuk tidak adanya tagihan dari studio, karena studio Monolith adalah milik teman 😀 ). Jadi “Instinctus Bestialis” yang ditulis sejak 2009 adalah representasi penuh dari kreativitas bermusik Infernus dan kawan-kawan. Jadi, seburuk apakah album ini?

Continue reading

DJIWO “Cakra Bhirawa” (2014): Sebuah Nyanyian Black Metal dari Langit Hitam Nusantara di Masa Silam

Djiwo Band 2014

Djiwo Cakra Bhirawa

Reviewed by: Riki Paramita

DJIWO adalah sebuah sebuah band misterius yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. Misterius, karena band ini selalu menghindar untuk menampilkan wajah asli dan identitas personil intinya baik di dalam setiap event maupun di channel media sosial mereka. Sebagai seorang penggemar Extreme Metal yang sangat jarang muncul di gigs atau festival, dan hanya memposisikan diri sebagai kurator untuk karya-karya Extreme Metal di depan notebook dan dari perpustakaan musik pribadi di cloud, tentunya referensi saya sangat terbatas untuk dapat bercerita mengenai para personil Djiwo. Akan tetapi dengan sedikit riset kecil-kecilan, saya dapat menarik benang merah bahwa para personil Djiwo bukanlah pribadi-pribadi pendatang baru di skena Black Metal tanah air, yang terbukti dari jejak digital mereka di berbagai situs yang berhubungan dengan Black Metal. Hal ini juga menjelaskan secara logis mengenai album “Cakra Bhirawa” yang seperti sebuah karya yang bersifat terobosan (breakthrough) untuk skena Black Metal lokal: musik Black Metal yang tidak hanya berdiri di satu dimensi, artwork dan konsep album yang digarap dengan sangat baik yang mencerminkan dalamnya pemahaman dari para personil Djiwo terhadap seni yang mereka representasikan, dan pemilihan topik dan tema album yang sangat eksotik yaitu mengenai mitologi, kebijaksanaan, kearifan, serta kepercayaan kuno yang sempat eksis di bumi Nusantara sebelum masuknya kultur dan agama Samawi dari Timur Tengah. Djiwo “Cakra Bhirawa” adalah sebuah nyanyian Black Metal dari langit hitam Nusantara di masa silam, dengan segala kisah, pemikiran, kearifan, dan legenda yang sudah sangat jarang diceritakan.

Continue reading

MAYHEM “Wolf’s Lair Abyss” (EP, 1997): Sebuah Mata Rantai yang Terlupakan dari Sang Dewa Black Metal Norwegia

Mayhem 1997 1

Mayhem dengan formasi ‘reformasi’ di 1997: Rune “Blasphemer” Eriksen (Gitar), Jørn “Necrobutcher” Stubberud (Bass), Sven Erik “Maniac” Kristiansen (Vokal), dan Jan Axel “Hellhammer” Blomberg (Drum). Formasi ini merupakan keputusan bersama dari Jørn “Necrobutcher” dan Jan Axel “Hellhammer” untuk meneruskan Mayhem setelah kematian Øystein “Euronymous” Aarseth di tahun 1993.

Mayhem Wolfs Lair Abyss

Article written by: Riki Paramita

Cerita dimulai pada bulan Agustus 1993, kurang lebih 22 tahun yang lalu, di Norwegia yaitu di kota kecil Ski, 22 km dari Oslo. Øystein “Euronymous” Aarseth (Gitar) baru saja dimakamkan. Jørn “Necrobutcher” Stubberud (Bass) yang menghadiri pemakaman, diam seribu bahasa. Jørn sangat terpukul karena kepergian teman baiknya yang sangat tiba-tiba. Jørn “Necrobutcher” dan Øystein “Euronymous” adalah berteman baik, walaupun pada saat kepergian Euronymous hubungan mereka cenderung renggang. Jørn dan Øystein adalah ibarat John Lennon dan Paul McCartney versi Black Metal. Mereka selalu bersama, dan akan saling tukar pikiran mengenai aransemen musik yang sebelumnya sudah mereka rumuskan masing-masingnya, dan jadilah sebuah lagu! Begitulah kelahiran dari “Deathcrush” atau “Freezing Moon”. Sekarang Øystein sudah pergi. Sebelumnya Pelle (Per Yngve Ohlin, aka “Dead”. Vokalis) juga sudah terlebih dahulu meninggalkan Jørn, 2 tahun lebih awal (April, 1991). Jørn memang lebih berduka untuk Pelle ketimbang Øystein. Hubungan dengan Øystein memang cenderung sedang renggang: mereka bertengkar karena Øystein tidak memperlakukan Pelle secara terhormat di hari kematiannya. Øystein menjadikan kematian Pelle (yang meledakkan kepalanya sendiri dengan sebuah shotgun) sebagai sebuah publikasi murahan untuk Black Metal Norwegia. Sensasi khas tabloid. Jørn sangat marah dalam hal ini. Akibatnya Øystein pun tidak mengikutsertakan Jørn dalam proses rekaman debut album Mayhem. Øystein malah mengundang pemain bass tamu untuk rekaman: seorang pretty boy dengan kepribadian psychotic disorder, yaitu Kristian “Varg” Vikernes. Dan kita sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah keputusan terburuk yang pernah diambil oleh Øystein “Euronymous” Aarseth, sang godfather untuk Norwegian Black Metal. Sang pretty boy justru adalah orang yang kemudian mengakhiri hidupnya.

Continue reading

DISSECTION “Storm of the Light’s Bane” (1995): Ketika Menjadi Melodius Adalah Berarti Menjadi Lebih Gelap dan Mengerikan

Dissection Band 1995

Dissection dengan formasi maestro di 1995: Jon Nödtveidt (Vokal, Gitar), Johan Norman (Gitar), Ole Öhman (Drum), dan Peter Palmdahl (Bass). Formasi ini (terutama karena kejeniusan bermusik Jon Nödtveidt) menghasilkan “Storm of the Light’s Bane” (1995) sebagai puncak karya mereka. Sebuah puncak yang tidak pernah lagi tercapai baik oleh Dissection sendiri maupun band lainnya.

Dissection Storm of the Lights Bane

Article written by: Riki Paramita

DISSECTION adalah sebuah nama besar tidak hanya di skena Black Metal Swedia, melainkan juga di skena Black Metal dunia secara global. Disanjung dan dipuji setinggi langit karena pendekatan Melodic Black Metal mereka yang inovatif sekaligus mengerikan, dan banyak menginspirasikan band-band sesudah mereka. Dissection juga mempunyai penjualan album yang relatif tinggi untuk ukuran Black Metal, ditambah dengan cerita-cerita miring di seputar band ini yang justru membuat status mereka menjadi semakin kvlt dan misterius. Cerita tentang Jon Nödtveidt dan Dissection tidaklah kalah miring apabila dibandingkan dengan cerita Mayhem atau band-band ‘jahat’ lainnya dari Norwegia. Jon Nödtveidt, sang gitaris dan vokalis Dissection, tidaklah hanya seorang musisi yang brilian dan produktif menghasilkan karya, melainkan juga sebuah pribadi yang sangat kontroversial: mulai dari keterlibatannya di Misanthropic Luciferian Order (MLO), terlibat kasus pembunuhan dan mendekam selama 6 tahun di penjara, sampai ke kematiannya yang seperti sebuah bunuh diri ritualistik di tahun 2006.

Continue reading

Sebuah Nyanyian Kegelapan dari Dunia Tolkien: Mengenang GORGOROTH “Antichrist” (1996)

Gorgoroth Band 1996

Gorgoroth Antichrist 2

Article written by: Supriyanto “Desecrator” (Kontributor untuk Beyondheavymetal.com)

GORGOROTH, sebagaimana kita ketahui adalah band yang sangat kontroversial baik dari sisi lirik, tema lagu, dan penampilan di atas panggung. Banyak orang melihat, menyimak dan mengetahui band ini sejak wawancara Kristian Espedal aka “Gaahl” bersama Sam Dunn pada salah satu bagian perjalanannya dalam proyek dokumentasi “Metal: a Headbanger’s Journey”, bahkan tak jarang sampai sekarang pun banyak orang yang menganggap bahwa Gaahl adalah masih vokalis Gorgoroth. Saya pribadi mengenal Gorgoroth agak terlambat. Seingat saya waktu itu saya melakukan mailorder video VHS, dan salah satu isi dari video VHS tersebut adalah Gorgoroth, kalau tidak salah “Live in Wacken 98”. Gorgoroth menyuguhkan penampilan yang cukup gahar, tanpa kompromi, dan waktu itu saya cenderung menyimpan VHS ini dan lebih menyimak video “World Domination” yang diisi band-band seperti Enslaved, Dark Tranquillity, dan lainnya.

Selang beberapa saat, saya akhirnya bisa menyimak beberapa karya Gorgoroth, mulai dari album “Pentagram” (1994), “Antichrist” (1996), “Under the Sign of Hell” (1997), sampai “Destroyer” (1998), bersamaan dengan ketertarikan saya pada band-band semacam Summoning, Abigor, dan lainnya. Disini ketertarikan saya adalah karena nama Gorgoroth mengingatkan saya pada nama daerah dataran tinggi di dongeng “Lord of the Rings” karya J.R.R Tolkien.

Continue reading

MARDUK “Heaven Shall Burn… When We are Gathered” (1996): Sebuah Cerita Perlawanan dari Kubu Extreme Black Metal Swedia

Marduk Band 1996 11

Marduk dengan formasi 1996: Erik “Legion” Hagstedt (Vokal), Morgan Steinmeyer Hakansson (Gitar), Roger “B-War” Svensson (Bass), dan Fredrik Andersson (Drum). Album “Heaven Shall Burn… When We are Gathered” adalah debut Erik “Legion” sebagai vokalis Marduk dan menandai lahirnya sebuah era: Legion Era!

Marduk Heaven Shall Burn

Article written by: Riki Paramita

“I think the Norwegians go more for the moods, while we go for the brutality” – Erik “Legion” Hagstedt

Kalender menunjukkan angka tahun 1995. Black Metal, atau tepatnya 2nd Wave Black Metal sedang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, tidak hanya di skena Eropa akan tetapi juga di belahan dunia lainnya (termasuk Asia, dan juga Indonesia). Akan tetapi pertumbuhan Black Metal yang ditandai dengan kemunculan band-band baru dan produktivitas yang tinggi dalam menghasilkan karya adalah cenderung ke arah yang simfonik: mengikuti inovasi yang dilakukan oleh Emperor, Dimmu Borgir, atau Gehenna. Para dewa dari Norwegia ini menjadi kiblat dari band-band yang bermunculan pada periode tersebut dalam bermusik dan membangun gimmick. Symphonic Black Metal yang secara intensif menggunakan keyboards/ synthesizers dalam membangun nuansa atmospheric menjadi sebuah simbol dari kematangan dan kedewasaan musik Black Metal, dimana hal tersebut amatlah sangat sulit direpresentasikan melalui low fidelity Black Metal. Trilogi dari Darkthrone pada era tersebut sudah dianggap ketinggalan zaman, dan band seperti Darkthrone juga sudah kehabisan ide dan sangat miskin dalam hal inovasi (jangan membandingkan Fenriz dengan Ihsahn! 😀 ). Ditambah dengan sang godfather, yaitu Mayhem, yang pada saat itu sedang mengalami krisis identitas. Situasi bertambah keruh dengan virus Gothic yang semakin menggerogoti ‘kesehatan’ Black Metal, terutama lengkingan Dani Filth dari tanah Britania. Bagaimana dengan Death Metal? Band-band Swedia dalam hal ini mempunyai ‘dosa yang sangat besar’ terhadap kelahiran Melodic Death Metal atau seringkali disebut dengan Gothenburg sound. Band-band seperti In Flames, At the Gates, dan Dark Tranquillity mulai mengeluarkan karya-karya terbaik mereka. Singkat kata, skena Eropa tidak hanya menjadi simfonik melainkan juga melodius. Band-band yang mengusung speed dan brutality secara pelan namun pasti mulai terpinggirkan.

Continue reading

BELPHEGOR “Conjuring the Dead” (2014): Sebuah Album yang Lahir Setelah Mengintip dari Balik Tirai Kematian

Belphegor Band

Belphegor dengan formasi duet (2014): Helmuth Lehner (Vokal, Gitar), dan Vojtech R. “Serpenth” (Bass). Bersama-sama dengan musisi tamu lainnya, duet ini menghasilkan “Conjuring the Dead” sebagai album studio ke-10 dari sang raksasa Blackened Death Metal asal Austria, sekaligus sebagai album pertama setelah kesembuhan Helmuth Lehner dari komplikasi infeksi Typhus yang mematikan.

Belphegor Conjuring the Dead

Article written by: Riki Paramita

Helmuth Lehner: Mengintip dari Balik Tirai Kematian

Cerita tentang album BELPHEGOR “Conjuring the Dead” (2024) adalah mirip dengan cerita album “The Satanist” dari Behemoth apabila dilihat dari perspektif sang frontman/ konseptor: baik Helmuth Lehner (Belphegor, gitaris/ vokalis/ konseptor) maupun Adam “Nergal” Darski (Behemoth, gitaris/ vokalis/ konseptor) adalah sama-sama memenangkan perjudian mereka dengan sang maut pada saat masing-masing album masih dalam fase penulisan. Apabila Nergal berhasil sembuh dari penyakit Leukemia yang mematikan, maka Helmuth Lehner berhasil sembuh dari komplikasi infeksi Typhus akut yang membutuhkan operasi dan penyembuhan yang panjang (memakan waktu kurang lebih 8 bulan). Komplikasi Typhus yang diderita oleh Helmuth tidak hanya membuat paru-paru sang gitaris menjadi rusak, melainkan juga menimbulkan kerusakan hati (liver), jantung, dan menjalar ke organ tubuh lainnya sampai ke kaki. Secara fisik, Helmuth menjadi lumpuh dan sangat susah untuk menggerakkan badannya sendiri. Singkat kata, Helmuth Lehner benar-benar berada pada kondisi yang fuc#ed up! Infeksi Typhus ini didapat oleh Helmuth ketika Belphegor melakukan tur di Brazil pada tahun 2011. Akibatnya, sisa tur di Amerika Selatan harus dibatalkan dan Helmuth langsung diterbangkan ke kampung halamannya di Austria untuk menjalani perawatan medis intensif. Praktis selama perawatan yang seadanya di Amerika Selatan dan dalam perjalanan menuju Austria, Helmuth berada pada kondisi yang mirip dengan sebuah koma. Helmuth Lehner seolah-olah diberikan kesempatan untuk mengintip dari balik tirai kematiannya sendiri.

Continue reading

MARDUK “World Funeral” (2003): Ketika Sang Serigala Skandinavia Menemukan Kembali Serpihan Jiwa dan Karakternya yang Hilang

Marduk Band 2003 11

Marduk dengan formasi di album “World Funeral” (2003): Erik “Legion” Hagstedt (Vokal), Roger “B-War” Svensson (Bass), Emil Dragutinovic (Drum), dan Morgan Hakansson (Gitar). “World Funeral” adalah album terakhir dengan Legion & B-War yang menandai berakhirnya sebuah era dan dimulainya Marduk di era yang baru.

Marduk World Funeral Cover

Article written by: Riki Paramita

Marduk di Tahun 2001: Mau Kemana Setelah Trilogi Blood, Fire, & Death?

Kalender menunjukkan angka tahun 2001. Pada saat itu, MARDUK – sang mesin perang Black Metal dari Swedia (The Black Metal War Machine), baru saja menyelesaikan album yang merupakan sebuah trilogi dengan konsep yang Bathory-ish, yaitu ‘blood, fire, & death’. Album bertemakan ‘blood’ direpresentasikan oleh “Nightwing” yang dirilis pada tahun 1998. Album dengan tema ‘fire’ adalah “Panzer Division Marduk” (1999) yang monumental. Sementara album dengan topik ‘death’ adalah “La Grande Danse Macabre” pada tahun 2001. Marduk sempat merasa kehabisan kreativitas setelah merilis “Panzer Division Marduk” yang tidak hanya sebuah album yang bersifat groundbreaking, akan tetapi juga sebuah eksperimen yang berani dengan 30 menit (8 tracks) blast beats secara non-stop. Album ini barangkali adalah album Black Metal paling brutal pada saat itu. Mau kemana lagi setelah itu? Mau dibawa kemana arah dari musik Marduk setelah tidak ada lagi ruang gerak untuk agresivitas dan brutality?

Continue reading

MARDUK “Opus Nocturne” (1994): Cerita di Balik Salah Satu Album Black Metal Terbesar Sepanjang Masa

Marduk Band 1994 1

Marduk dengan formasi dahsyat di 1994: Fredrik Andersson (Drum), Morgan Hakansson (Gitar), Joakim Af Gravf (Vokal), dan Roger “B-War” Svensson (Bass). Formasi ini menghasilkan “Opus Nocturne” di tahun 1994, sebagai album yang merupakan transisi musik Marduk ke sound yang lebih cepat & ekstrim, sekaligus mempertegas posisi Swedia di peta Black Metal dunia.

Marduk Opus Nocturne 1

Article written by: Riki Paramita

MARDUK “Opus Nocturne” (1994) sebagai album Black Metal terbesar sepanjang masa? Tentu saja tidak. Sangat sulit tentunya untuk menyebutkan satu album sebagai yang terbesar (tanpa embel-embel ‘salah satu’), apalagi sepanjang masa :-). Para fans Black Metal tentunya juga akan sangat berkeberatan: karena Black Metal tidaklah relevan untuk peringkat seperti halnya Top 40. Akan tetapi apabila pertanyaannya adalah: album Black Metal apa saja yang paling berpengaruh di perkembangan 2nd wave Black Metal? Maka saya yakin Marduk “Opus Nocturne” akan selalu ada di daftar jawaban para stakeholders Black Metal. Kenapa? Karena “Opus Nocturne” adalah sebuah cetak biru yang kuat untuk perkembangan Black Metal ke arah yang ultra agresif & cepat, sebagai jawaban terhadap sub-genre Brutal Death Metal. Marduk dan sang mastermind Morgan Hakansson pada saat itu (awal 90-an) adalah salah satu dari sedikit orang non-Norwegia yang dekat dengan skena Black Metal Norwegia terutama para geng Helvete yang berpusat di sosok Øystein Aarseth aka Euronymous. Sehingga dapat dikatakan bahwa Morgan Hakansson adalah salah seorang ekstensi dari skena Norwegia yang ‘disetujui’ oleh Euronymous. Album “Opus Nocturne” yang dirilis oleh Osmose Productions di akhir tahun 1994 adalah sebuah album yang unik: ultra agresif, cepat, didominasi oleh blast beats drumming, akan tetapi masih mempunyai vibe yang gelap, dingin, jahat, dan suram seperti layaknya karya Black Metal terbaik (dimana dalam banyak kasus, soul Black Metal dan permainan ultra agresif dan cepat adalah bersifat zero sum: saling meniadakan satu sama lainnya). Decibel Magazine menempatkan “Opus Nocturne” pada peringkat 7 di dalam edisi ‘Top 100 Black Metal Albums of All Time’, dimana album ini hanya berada di bawah karya-karya besar lain dari Satyricon, Venom, Emperor, Darkthrone, Mayhem, dan Bathory. Sekali lagi, Black Metal memang bukanlah soal peringkat Top 100-an. Akan tetapi amatlah sukar untuk menyangkal besarnya pengaruh “Opus Nocturne” di perkembangan Black Metal di tahun-tahun berikutnya. Seburuk apakah Marduk “Opus Nocturne”? 🙂 Continue reading

INFERNAL WAR “Axiom” (2015): Sebuah Nyanyian Perang Penuh Amarah dan Adrenalin dari Polandia

Infernal War 2015 2

Infernal War dengan formasi 2015: Vaneth “Triumphator” (Gitar), Herr Warcrimer (Vokal), Zyklon (Gitar), Krzysztof “Godcrusher” Michalak (Bass), dan Paweł “Stormblast” Pietrzak (Drum). Para ‘penjahat perang’ dari Polandia ini telah kembali dengan “Axiom” sebagai nyanyian perang mereka yang terbaru di 2015. Foto: http://decibelmagazine.com.

Infernal War - Axiom

Reviewed by: Riki Paramita

INFERNAL WAR kembali merilis full length album setelah 8 tahun ‘menghilang’. Full length album mereka yang terakhir adalah “Redesekration: The Gospel of Hatred and Apotheosis of Genocide” yang dirilis pada tahun 2007. Di rentang 2007 sampai dengan 2015, Infernal War hanya sempat merilis 1 EP (“Conflagator”, 2009), 1 split album (“Transfiguration”, 2010), dan 1 kompilasi (“Chronicles of Genocide”, 2014). Apa yang menyebabkan mereka vakum begitu lama? Sepertinya ini hanyalah masalah fokus para musisi di Infernal War yang terbagi antara meneruskan Infernal War dan proyek-proyek lainnya seperti Voidhanger atau Iperyt. Dimana hal ini dirasakan cukup menyebalkan bagi fans yang menunggu begitu lama untuk rilisan Infernal War yang baru, seperti halnya saya. 🙂 Sehingga ketika Infernal War mengumumkan bahwa mereka akan merilis “Axiom” sebagai full length album mereka yang ke-3 di Desember 2014 yang lalu, maka tanggal dirilisnya album tersebut pada 17 April 2015 menjadi hari yang sangat ditunggu-tunggu. Setelah mendengarkan 11 track pada album ini, deksripsi yang paling tepat untuk Infernal War “Axiom” adalah: sebuah album Death Metal yang penuh amarah dan adrenalin, berkecepatan tinggi, akan tetapi tidak bersifat repetitif apalagi membosankan untuk disimak. Death Metal? Sepertinya Infernal War di “Axiom” memang lebih tepat untuk dideskripsikan sebagai Death Metal. Aspek-aspek Black Metal yang membuat mereka sangat unik sebagai pengusung Blackened Death Metal di 2 full length album sebelumnya adalah sangat minimal ditemukan di album ini. Herr Warcrimer dan kawan-kawan pun sudah dengan ‘resmi’ melepas corpse paint mereka. Akan tetapi hal ini tidaklah membuat Infernal War menjadi krisis identitas, melainkan justru semakin menguatkan eksistensi mereka sebagai pengusung War (Death) Metal dengan sound dan ciri khas mereka sendiri. Continue reading

GORGOROTH “Destroyer” (1998): Album Paling Berantakan Sekaligus Terbaik dari Sang Punggawa ‘True Norwegian Black Metal’

Infernus Gorgoroth 1

Roger “Infernus” Tiegs: sang gitaris, musisi multi-instrumen, komposer, dan konseptor dari Gorgoroth. Album Gorgoroth di tahun 1998 yaitu “Destroyer” adalah album yang ‘berantakan’ dan lebih tepat disebut sebagai album solo Infernus karena dia adalah satu-satunya musisi yang konsisten terlibat di setiap track. Foto: http://gorgoroth.info.

Gorgoroth Destroyer

Reviewed by: Riki Paramita

GORGOROTH adalah band yang penuh kontroversi, dicintai dan sekaligus dibenci oleh publik di skena Black Metal. Mulai dari kontroversi mengenai sikap, pendapat, dan pernyataan dari Roger “Infernus” Tiegs – sang Gitaris dan konseptor Gorgoroth – di media, masalah dispute dari nama Gorgoroth yang sampai melibatkan pengadilan, sampai ke arah bermusik Gorgoroth yang seringkali bereksperimen ke area yang mengejutkan bagi para fans mereka. Fans Gorgoroth sendiri secara garis besar terbagi 2: pertama adalah kelompok yang fanatik dengan sound klasik dari Norwegian Black Metal, terutama di periode awal kelahiran 2nd wave Black Metal. Kelompok ini sangat memuja album “Pentagram” (1994), “Antichrist” (1996), dan “Under the Sign of Hell” (1997). Kelompok kedua adalah yang pro terhadap Gorgoroth di era Kristian “Gaahl” Espedal dan Tom “King” Visnes berada di balik creative forces Gorgoroth. Kelompok kedua ini akan sangat menyanjung “Incipit Satan” (2000), “Twilight of the Idols” (2003), dan “Ad Majorem Sathanas Gloriam” (2006).

FYI, Decibel Magazine menempatkan “Incipit Satan” di peringkat 68 pada edisi ‘Top 100 Black Metal Albums of All Time.’ Sementara “Pentagram” dan “Antichrist” adalah berturut-turut di peringkat 101 & 102 (di luar Top 100). Sepertinya Decibel Magazine adalah termasuk di kelompok ke-2, yaitu lebih apresiatif terhadap Gorgoroth di era Gaahl & King. Black Metal memang bukan soal peringkat apalagi Top 100-an. 🙂 Akan tetapi apabila ditanya, album Gorgoroth mana yang menurut anda terbaik, maka kira-kira apa jawaban anda para pembaca? Bersama ini Beyondheavymetal.com setelah melakukan analisis awam yang penuh preferensi pribadi memberikan penilaian bahwa album Gorgoroth yang berkategori terbaik justru berada di periode yang penuh kekacauan setelah trilogi “Pentagram” – “Antichrist” – “Under the Sign of Hell” dan sebelum “Incipit Satan”, yaitu album “Destroyer, or How to Philosophize with the Hammer” yang dirilis di tahun 1998. Seburuk apakah album ini? Continue reading

MARDUK “Serpent Sermon” (2012): Menyimak Nyanyian Sang Ular Berbisa dari Skandinavia

Marduk 2012 2

Marduk dengan formasi 2012: Lars Broddesson (Drum), Daniel “Mortuus” Rostén (Vokal), Magnus “Devo” Andersson (Bass), dan Morgan Hakansson (Gitar). Marduk menghasilkan “Serpent Sermon” di 2012 sebagai salah satu album mereka yang paling evil dan gelap. Foto: http://marduk.nu.

Marduk Serpent Sermon

Reviewed by: Riki Paramita

Setelah “La Grande Danse Macabre” Tour di awal tahun 2002, drummer Fredrik Andersson yang sudah 9 tahun duduk di belakang drum kit Marduk tidak lagi terlihat antusias untuk meneruskan hari-harinya bersama Marduk. Emil Dragutinovic kemudian direkrut untuk menggantikan Fredrik di belakang drum kit. Setelah selesainya album “World Funeral” (2003) dan tur untuk album tersebut di 2004, vokalis Erik “Legion” Hagstedt menghilang dan tidak pernah muncul lagi di sesi latihan Marduk. Padahal Marduk pada saat itu sedang intensif mempersiapakan materi baru. Langkah Erik “Legion” kemudian diikuti oleh bassist Roger “B-War” Svensson. Maka tinggallah Morgan Hakansson berdua dengan Emil Dragutinovic yang relatif masih baru dengan Marduk. Morgan kemudian bertekad untuk membangun kembali Marduk dengan merekrut Magnus “Devo” Andersson untuk posisi bassist (sebelumnya Devo pernah bermain di Marduk sebagai gitaris pada periode 1992-1994), dan Daniel “Mortuus” Rostén sebagai vokalis yang baru. Dan era Marduk dengan Mortuus sebagai frontman pun dimulai. Mortuus kemudian tidak hanya menjadi frontman Marduk, melainkan juga mempengaruhi arah bermusik Marduk di album-album berikutnya. Continue reading