METALLICA “Lords of Summer” (2014, Single): Menuju Mahakarya Selanjutnya dari Sang Maestro

Metallica 2014

Metallica di 2014: Kirk Hammett (Gitar), Lars Ulrich (Drum), James Hetfield (Vokal, Gitar), dan Robert Trujillo (Bass). Lords of summer have returned! Foto: http://www.facebook.com/metallica.

Metallica Lords of Summer

Reviewed by: Riki Paramita

Sebelum membahas single dari METALLICA “Lords of Summer” yang baru dirilis pada 20 Juni 2014 yang lalu (untuk versi iTunes), marilah kita tanyakan ke diri kita sendiri: kapan terakhir kali Metallica benar-benar memukau kita dengan materi-materi yang dikategorikan baru? Bagi saya, Metallica moment terakhir adalah ketika mendengarkan “Enter Sandman” untuk pertama kalinya pada tahun 1991. Sudah lama sekali. Sebelum “Enter Sandman”, Metallica moment adalah ketika saya mengalami pergeseran paradigma dalam preferensi musik setelah mendengarkan “Master of Puppets” dan “Blackened” untuk pertama kalinya. Terutama “Blackened”, permainan cepat James dan Kirk benar-benar merombak preferensi saya yang sebelumnya didominasi oleh sound seperti Whitesnake dan Iron Maiden. Akan tetapi, hari itu sudah lama berlalu. Setelah itu Metallica cenderung untuk mengeluarkan rilisan yang (menurut saya) mengecewakan, dan membuat preferensi saya semakin jauh dari Metallica. Saya sempat berharap banyak pada “Death Magnetic” yang dirilis pada 2008 yang lalu. Akan tetapi album ini pun ‘kalah bersaing’ di player saya dengan rilisan2 lainnya pada periode tersebut seperti misalnya Dream Theater “Black Clouds and Silver Linings.” Sehingga saya pun dapat memahami kalau kemudian Metallica meraih sukses besar melalui tur mereka yang didominasi oleh track2 klasik dari periode awal sampai black album (1983-1991). Materi-materi dari periode awal sampai black album secara telak mengalahkan materi-materi pasca black album. Metallica di abad 21 ternyata masih mengandalkan “Creeping Death”, “Master of Puppets”, “Enter Sandman”, atau “One”. Akan tetapi, para fans (termasuk saya) sebenarnya masih mempunyai keyakinan bahwa Metallica akan kembali menghasilkan sebuah karya masterpiece di abad 21 ini. Continue reading

MAYHEM “Ordo Ad Chao” (2007): Sebuah Konsep Kolaboratif Antara Progresivitas dan Pendekatan Klasik Necro Sound

Mayhem 2007 2

Mayhem formasi 2007: Jørn “Necrobutcher” Stubberud (Bass), Jan Axel “Hellhammer” Blomberg (Drum), Attila Csihar (Vokal), dan Rune “Blasphemer” Eriksen (Gitar).

Reviewed by: Riki Paramita

“As for “Ordo” (“Ordo Ad Chao”) I wanted everything to sound like sh#t, more or less. No joke. I wanted a really disturbing and muddy sound, totally opposite of “Chimera” and especially “Grand Declaration of War”, which both are very sterile, cold and clear sounding.” – Rune “Blasphemer” Eriksen

Saya adalah termasuk fans yang tidak antisipatif terhadap album MAYHEM “Ordo Ad Chao” (2007) ketika pertama kali mendengarkan album ini. Tidak antisipatif dalam arti belum sekalipun membaca resensi dari album ini sampai pada saat first listening. Ketika pertama kali mendengarkan sound Mayhem di track pertama “A Wise Birthgiver” saya masih belum mengerti arah dari Mayhem di album ini karena track ini adalah lebih bersifat sebagai sebuah intro ketimbang sebuah full track walaupun sudah ada riffing gitar dan drumming, dan kurang lebih sama dengan “Sylvester Anfang” pada “Deathcrush” (1987) atau “The Vortex Void of Inhumanity” pada “Wolf’s Lair Abyss” (1997) yang lebih tepat disebut sebagai rangkaian noise yang absurd dan random ketimbang sebuah track.

Mayhem Ordo Ad Chao 2007

Dan ketika track ke-2 “Wall of Water” baru dimulai beberapa detik yang ditandai dengan riffing pembuka oleh Rune “Blasphemer” Eriksen dan drumming Jan Axel “Hellhammer” Blomberg, saya malah berpikir bahwa ada yang merubah setting-an audio saya, sehingga suara yang dihasilkan menjadi sangat kasar, blurr, berat, sekaligus mixed up antara instrumen yang satu dengan yang lainnya. Ketika menyadari bahwa setting-an audio saya masih sama dengan semula, barulah saya sadar bahwa memang seperti inilah sound Mayhem di “Ordo Ad Chao”: Mayhem dengan berani melakukan langkah yang penuh risiko dengan kembali ke konsep Necro Sound/ Low Fidelity Black Metal. Apakah langkah ini dilakukan sebagai jawaban terhadap tuntutan para fans supaya Mayhem kembali melahirkan the next “De Mysteriis Dom Sathanas” (1994)? Entahlah. Karena sound yang dihasilkan adalah lebih gelap dan lebih necro dibandingkan dengan “De Mysteriis…” Pada saat itu saya sangat terkejut karena tidak menyangka bahwa Mayhem di era Rune “Blasphemer” Eriksen akan kembali ke konsep Necro Sound. Saya lebih terkejut lagi karena yang bertindak sebagai produser di “Ordo Ad Chao” adalah Rune “Blasphemer” sendiri. Seburuk apakah Necro Mayhem di tangan Rune “Blasphemer” Eriksen? 🙂 Continue reading

Yang Terbaik dari Era Rune “Blasphemer” Eriksen: Mengenang MAYHEM “Chimera” (2004)

Rune Eriksen

Rune “Blasphemer” Eriksen, sang gitaris dan komposer dari Mayhem pada periode 1995 – 2008. Lebih baik dari Øystein “Euronymous” Aarseth?

Reviewed by: Riki Paramita

Siapakah komposer terbaik di MAYHEM? Sebuah band yang sering disebut-sebut sebagai godfather untuk 2nd wave Black Metal. Sebuah band yang mempunyai peranan paling signifikan di gelombang kedua kelahiran Black Metal di Norwegia pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Sebuah band dimana karya-karya para musisi di dalamnya seringkali dianggap sebagai benchmark yang paling penting dalam menentukan arah Black Metal di masa depan. Dengan demikian, sang penulis musik/ komposer di Mayhem pun dengan sendirinya akan menempati posisi yang sangat signifikan di perkembangan Black Metal, sebagai sebuah mutasi paling gelap dari Heavy Metal. Secara garis besar, kita dapat membagi periode di Mayhem menjadi 3 periode dari 30 tahun eksistensi band ini di skena Black Metal dunia. Selama 30 tahun memainkan Black Metal! Periode pertama adalah periode yang dimulai dari kelahiran Mayhem pada demo “Pure Fu##ing Armageddon” (1986) sampai dirilisnya “De Mysteriis Dom Sathanas” (1994): periode yang merupakan sebuah ‘pencarian’ untuk blue print Norwegian Black Metal, baik dalam bentuk prototype sound seperti “Deathcrush” (1987) dan “Live in Leipzig” (1993), sampai mencapai maturity di “De Mysteriis…” melalui inovasi dan kreativitas dalam bentuk Necro Sound yang dingin. Pada periode ini penulis musik yang paling signifikan adalah Øystein “Euronymous” Aarseth (Gitar), sang godfather Norwegian Black Metal. Periode kedua adalah interval yang dimulai dari inisiatif “Wolf’s Lair Abyss” (1997), dan berakhir di “Ordo Ad Chao” (2007). Periode ini adalah masa dimana departemen komposer untuk Mayhem adalah dihuni oleh Rune “Blasphemer” Eriksen. Sebuah periode ekspansif untuk arah musik Mayhem yang sekaligus juga mendefinisikan arah Black Metal di masa depan.

Mayhem Chimera 2004

Periode ketiga adalah periode sepeninggal Rune Eriksen (Catatan: Rune Eriksen meninggalkan Mayhem pada 2008 karena merasa kreativitasnya sudah mencapai ‘batasnya’): periode setelah “Ordo Ad Chao” dan membuahkan satu full length album yaitu “Esoteric Warfare” (2014) yang akan dirilis pada bulan Juli 2014 yang akan datang. Siapakah komposer utama di era ini? Komposer utama Mayhem pada periode ini adalah Morten “Teloch” Iversen yang merupakan muka baru untuk Mayhem (tanpa keterkaitan dengan Mayhem di era-era awal) akan tetapi cukup disegani di skena Black Metal dunia melalui karya-karyanya di Nidingr dan Nunfu##ritual. Siapakah yang terbaik diantara mereka bertiga? Tentu saja jawaban ini akan sangat sarat subjektivitas dan preferensi pribadi. Era Øystein “Euronymous” Aarseth yang walaupun hanya menghasilkan 1 full length album, akan tetapi justru album ini disebut-sebut sebagai ‘satu-satunya’ album Mayhem (“De Mysteriis Dom Sathanas” 1994), terutama di kalangan para purist yang fanatik dengan Necro Sound atau low fidelity Black Metal. Sementara era Rune “Blasphemer” Eriksen menghasilkan 3 full length album melalui “Grand Declaration of War” (2000), “Chimera” (2004), dan “Ordo Ad Chao” (2007). Tulisan saya kali ini adalah sebuah apresiasi untuk album “Chimera” sebagai rilisan terbaik Mayhem di era Rune Eriksen sebagai komposer. Continue reading

WARKVLT/ SEREIGNOS “Blasphemous Alliance” (2014, Split): Menyimak Kiprah Si Anak Nakal di Skena Black Metal Tanah Air

Warkvlt 2014

Warkvlt, dengan formasi trio di 2014: Sigit Abaddon (Vokal), Riyan Blasphemy (Drum), dan Abah Desecrator (Gitar). Warkvlt adalah salah satu pionir yang paling konsisten dalam format War Black Metal di skena Black Metal tanah air.

Warkvlt & Sereignos Blasphemous Alliance

Reviewed by: Riki Paramita

Apabila tanah Papua kita kenal sebagai gudang talenta untuk pemain sepakbola di skala nasional, maka Bandung adalah gudangnya talenta untuk musisi Extreme Metal (tanpa bermaksud merendahkan Persib Bandung :-)). Di sinilah inovasi di skena Extreme Metal nasional diinisiasikan dan menjadi bagian dari urban culture/ sub-culture di masyarakatnya. Talenta-talenta yang muncul tidaklah hanya untuk skala nasional saja, melainkan juga untuk skala internasional dengan potensi yang sejajar dengan para raksasa Asia seperti Sigh, Sabbat, Impiety, atau Chthonic. Dimulai dari inovator di era awal seperti Jasad, Sacrilegious, Hellgods, Tympanic Membrane, atau Sonic Torment, sampai dengan generasi band yang lahir di 2013/ 2014. Salah satu band yang lahir di era 2013/ 2014 yang cukup mencuri perhatian adalah WARKVLT, si anak nakal di skena Black Metal tanah air. Kenapa saya menyebutnya si anak nakal? Karena ide, inovasi, kemampuan berpikir di luar pola pikir yang umum, dan konsistensi/ persistensi dalam berkarya adalah sangat jarang ditemukan di dalam sosok ‘good boy.’ Literatur manajemen modern menyebut orang-orang seperti ini sebagai ‘wild ducks’ atau ‘wild birds’ dimana terminologi ini diadopsi dari perilaku wild birds yang selalu terbang tinggi bersama kelompoknya, selalu dinamis dan mengeksplorasi daerah-daerah atau teritori baru, tidak pernah merasa settle, dan dalam banyak kasus justru para wild birds ini yang menemukan daerah yang paling subur. Sebuah analogi untuk pribadi-pribadi yang dinamis dan selalu berorientasi inovasi. Continue reading

BEHEMOTH “The Satanist” (2014): Sebuah Invasi Mematikan dari Polandia di Ranah Blackened Death Metal

Behemoth Band 2014 2

Behemoth formasi 2014: Zbigniew Robert “Inferno” Prominski (Drum), Tomasz “Orion” Wroblewski (Bass), Adam “Nergal” Darski (Vokal, Gitar), dan musisi seasoned yang sudah bersama Behemoth di 10 tahun terakhir yaitu Patryk Dominik “Seth” Sztyber (Gitar). Behemoth adalah jawaban Eropa Timur terhadap eksistensi Black Metal di Skandinavia.

Behemoth The Satanist 2014

Reviewed by: Riki Paramita

Polandia adalah sebuah negara yang seringkali disebut-sebut sebagai salah satu competency center di skena Extreme Metal dunia. Ada banyak nama besar yang berasal dari tanah Polandia, seperti Vader yang merupakan jawaban Eropa Timur terhadap eksistensi Morbid Angel di tanah Amerika, atau Decapitated yang sangat technical, Vesania yang gelap dan melodius, Infernal War yang super agresif, dan tentu saja: BEHEMOTH, sang maestro Extreme Metal yang berhasil mendefinisikan eksistensi mereka yang unik di grey area antara Death Metal dan Black Metal. Dimulai sejak “Satanica” (1999), Behemoth mendefinisikan ulang konsep bermusik mereka melalui langkah yang sangat signifikan, yaitu dengan berani meninggalkan konsep low fidelity Black Metal yang sebelumnya mereka anut, dan mengkolaborasikannya  dengan elemen-elemen Death Metal, sehingga menghasilkan sound yang cukup orisinal: Blackened Death Metal. Behemoth sound. Behemoth-ism. Pada periode 1999 sampai 2008, Behemoth menghasilkan beberapa album masterpiece, sebut saja “Demigod” (2004), dan “The Apostasy” (2007), yang menempatkan posisi Behemoth pada tingkat maestro di skena Extreme Metal dunia sekaligus menegaskan sumbangsih Polandia di ranah musik ekstrim ini (walaupun Polandia dikenal sebagai negara yang religius dengan 33 juta pemeluk Katolik Roma yang taat, dengan religiousity index yang lebih tinggi dari Italia). Pada 2014 ini Behemoth kembali merilis sebuah album masterpiece “The Satanist” yang sangat provokatif dari segi penulisan lirik dan tema album, yang sekaligus sebuah pernyataan yang sangat tegas dari sang frontman, Adam “Nergal” Darski, mengenai self awareness dan kebebasan berpikir dan berbicara (freedom of thinking & speech). Pada kesempatan ini saya tidak akan membahas mengenai cerita spektakuler kesembuhan Adam “Nergal” Darski dari Leukemia yang mematikan, melainkan lebih fokus membahas album “The Satanist” dari segi musik yang dilihat dari perspektif end users, yaitu para fans. Continue reading

DEICIDE “In The Minds of Evil” (2013): Sebuah Album yang Setara dengan Rilisan Mereka di 90-an (?)

Deicide 2013

Deicide, sang veteran Death Metal dengan formasi 2013: Jack Owen (Gitar), Kevin Quirion (Gitar), Steve Asheim (Drum), dan Glen Benton (Vokal, Bass).

Deicide-In The Minds of Evil

Reviewed by: Riki Paramita

DEICIDE kembali merilis album terbaru mereka pada akhir 2013 yang lalu, yaitu “In The Minds of Evil”, dimana menurut Steve Asheim (drummer Deicide) agresi mereka yang terbaru ini adalah lebih gelap dari segi lirik dan mempunyai vibe yang mirip dengan “Legion” (1992). Pernyataan Steve Asheim tentang lirik sepertinya tidak akan terlalu ditanggapi oleh para fans. Deicide adalah Deicide, semua track adalah driven by hatred. Sementara itu mengenai vibe yang mirip dengan “Legion” sepertinya juga akan ditanggapi dengan dingin oleh para fans, karena pernyataan ini bukanlah yang pertama, dan para fans senantiasa dipenuhi oleh kekecewaan atau sedikit kecewa setelah menyimak album yang dimaksud. “Legion” masih sangat susah untuk ditandingi, termasuk oleh Deicide sendiri. “Legion” yang dirilis pada 1992 adalah “Master of Puppets” untuk Death Metal. Signifikan, legendaris, dan susah (atau bahkan tidak mungkin) untuk diulang. Jadi, adalah wajar kalau Deicide “In The Minds of Evil” tidak terlalu diantisipasi oleh para stakeholder Death Metal. Termasuk saya. Seburuk apakah Deicide “In The Minds of Evil”? Continue reading

HELLGODS “Darkness Reborn” (2014, Single): Kembalinya Sang Legenda Black Metal Tanah Air

Hellgods 2014

Hellgods formasi 2014: Reyza (Keyboards), Hariz (Drums), Abu (Vokal), Yoga (Gitar), dan Dedi (Bass). Album baru di 2014? Dengan formasi sekuat ini semuanya masih sangat mungkin.

Hellgods Darkness Reborn 2014

Reviewed by: Riki Paramita

HELLGODS adalah band yang selalu mempunyai tempat tersendiri di perspektif saya sebagai penggemar Black Metal: pertama, tentu saja karena Hellgods adalah band yang berasal dari skena lokal (Bandung). Selalu ada tempat tersendiri untuk band dari skena lokal yang menjadi salah satu pionir di genre-nya. Hellgods adalah salah satu early act dari skena Black Metal di tanah air. Kedua, karena saya sangat menghormati sosok sang frontman, Abu Blackened Ash. Kenapa? Karena ketertarikan saya akan Black Metal adalah dipicu oleh sepucuk surat dan paket kecil yang dikirimkan oleh Abu, 17 tahun yang lalu, ke komunitas Metal lokal di kota kecil tempat tinggal saya dulu. Surat yang kami terima ketika itu adalah sebuah pesan dari Abu untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan Black Metal, sebuah surat yang cukup provokatif yang disertai sebuah kaset rekaman contoh-contoh sound Black Metal (berisikan tracks dari Rotting Christ, Necromantia, Absu, Impaled Nazarene, Graveland, Emperor, dll). Sejak saat itu, virus Black Metal berkembang dengan sangat cepat di kota kecil kami yang tenang: mulai bermunculan band2 yang tampil dengan asesoris spikes dan corpse paint dengan kiblat Bandung Underground (salah satu band perintis di kota kecil kami pada waktu itu meng-cover Sacrilegious dari Bandung), Revograms Zine menjadi bacaan wajib, mailorder mulai dilakukan secara massal (pada saat itu tujuannya adalah Nuclear Blast dan Century Media, keduanya berlokasi di Jerman), dan saya sendiri mulai aktif menyiarkan Black Metal di radio kampus yang mengudara pada malam hari.  Pesan dari Abu Blackened Ash pada saat itu menyebar seperti layaknya sebuah viral message, jauh sebelum era smartphone dan mobility. Mindset saya pun juga ikut berubah: Morbid Angel dan Deicide mulai ditinggalkan, digantikan oleh Satyricon dan Marduk sebagai band favorit, dengan “Walk The Path of Sorrow” dan “Mother North” sebagai war anthem. Kalender pada saat itu menunjukkan angka tahun 1996. Continue reading

Sebuah Inovasi Prematur pada Norwegian Black Metal: Mengenang MAYHEM “Grand Declaration of War” (2000)

Rune Blasphemer Eriksen

Rune “Blasphemer” Eriksen on stage. Album Mayhem “Grand Declaration of War” (2000) adalah hasil karyanya sebagai gitaris dan songwriter di Mayhem, sebagai upaya untuk memperluas sound dari Norwegian Black Metal.

Mayhem Grand Declaration of War 2000

Article written by: Riki Paramita

“Innovation is the creation of viable new offerings” – Larry Keeley (from “The Ten Types of Innovation”, 2013, Deloitte Development LLC).

Norwegian Black Metal atau 2nd Wave Black Metal adalah sebuah inovasi di dalam Extreme Metal, dengan memunculkan beberapa differensiasi pada genre dan sub-genre yang sudah terlebih dahulu eksis, seperti New Wave of British Heavy Metal dan turunannya yang mempunyai sound lebih ekstrim seperti album2 milik Venom, Bathory, atau Celtic Frost. Norwegian Black Metal memenuhi persyaratan untuk disebut sebuah inovasi musik, yaitu diantaranya: new offerings (sound Norwegian Black Metal adalah sangat berbeda dengan para pendahulunya, plus gimmick dan stage act yang digarap dengan sangat serius), menciptakan market yang baru (baik yang sama sekali baru maupun yang sudah ada pada genre atau sub-genre sebelumnya), sustainable/ berkelanjutan (sampai sekarang Black Metal masih ada dan masih ‘menjual’ pada skala niche market), dan profitable (berhubungan dengan sustainability yang dijelaskan sebelumnya, dengan skala niche market).  Seperti halnya sebuah inovasi musik, karya-karya berikutnya dari Norwegian Black Metal membutuhkan semacam benchmark atau album-album yang dijadikan sebagai blueprint. Dua album yang berada pada kategori paling berpengaruh di jalur ini adalah Darkthrone “A Blaze in The Northern Sky” (1991) dan Mayhem “De Mysteriis dom Sathanas” (1994). “A Blaze in The Northern Sky” dari Darkthrone begitu dihormati karena inilah album full length pertama di jalur Norwegian Black Metal. Sementara “De Mysteriis dom Sathanas” milik Mayhem begitu dipuja karena sosok Mayhem yang seringkali dianggap sebagai band yang mendefinisikan sound Norwegian Black Metal untuk pertama kalinya. Darkthrone merubah jalur bermusiknya dari Death Metal ke Black Metal adalah karena pengaruh Mayhem (atau lebih tepatnya, pengaruh dari sang gitaris, Øystein “Euronymous” Aarseth).  Kiblat bermusik yang begitu berpusat kepada album-album berkategori kvlt seperti ini menjadikan Norwegian Black Metal mempunyai semakin banyak pengikut, akan tetapi sound yang dihasilkan adalah cenderung untuk monoton karena begitu berkiblat pada album yang itu-itu saja. Necro sound, raw production. Grieghallen & Pytten style. Band yang keluar dari jalur ini akan ramai2 dihujat sebagai not trve atau fake. Norwegian Black Metal pada saat itu cenderung stagnan. Pada akhir 90-an dan awal 2000-an, para musisi Norwegian Black Metal mulai berpikir untuk ekspansi: memperluas definisi Norwegian Black Metal dengan mengeksplorasi sound2 yang baru. Salah satunya adalah Mayhem, sang godfather, yang paling trve dari seluruh True Norwegian Black Metal. Continue reading

SATYRICON – “Satyricon” (Self Titled, 2013): Sebuah Evolusi Ekstrim dari Salah Satu Pionir ‘True Norwegian Black Metal’

Satyricon Band 2013

Satyricon S:T 2013

Reviewed by: Riki Paramita

Kurang lebih sudah 18 tahun berlalu sejak “Nemesis Divina” yang menjadi open statement dari eksistensi Norwegian Black Metal, dimana cukup satu track (“Mother North”) untuk menjelaskan motif utama dari kelahiran 2nd wave Black Metal di ranah Norwegia pada awal 90-an. Saya yakin, bahwa saya dan fans Black Metal lainnya sepakat bahwa “Nemesis Divina” adalah salah satu all time greats untuk kategori album Black Metal, dan Satyricon adalah termasuk ke dalam kelompok innovator untuk genre ini. “Walk The Path of Sorrow” dari “Dark Medieval Times” (1994) adalah sebuah track yang membuat saya menjadi fans Black Metal di 90-an dulu, menjadikan Floridian Death Metal sebagai ‘pilihan kedua.’ Jadi dapat dibayangkan bagaimana arti album masterpiece seperti “Nemesis Divina” (1996) bagi saya. Akan tetapi, Satyricon ternyata menunjukkan karateristik mereka sebagai band yang selalu mengeksplorasi sound yang baru di setiap album mereka. “Rebel Extravaganza” (1999) adalah salah satu kekecewaan terbesar saya sebagai fans Black Metal. Akan tetapi sampai “The Age of Nero” (2008) sekalipun saya tidak pernah berhenti berharap bahwa Satyricon akan kembali ke sound mereka seperti di “Nemesis Divina” (1996). Melalui album terbaru mereka yang self titled yang dirilis di 2013 yang lalu, saya pun sadar bahwa saya sudah harus menerima arah musik Satyricon yang cenderung untuk mengeksplorasi teritori2 yang baru dimana hal ini sepertinya juga menjadi bagian dari perkembangan berikutnya dari Norwegian Black Metal. Neo Black Metal, atau Modern Black Metal. “Nemesis Divina” (1996) adalah sebuah masa lalu, dan Satyricon self titled adalah salah satu bentuk yang masterpiece dari evolusi ekstrim dari True Norwegian Black Metal. Continue reading

IHSAHN – “Das Seelenbrechen” (2013): Sebuah Nyanyian Ketika Jiwa Pecah Berkeping-keping

Ihsahn Promo Photo

Ihsahn, sang musisi multi instrumen & multi talenta asal Norwegia dengan latar belakang Black Metal yang sangat dalam. Foto: Ihsahn Official Facebook (Promo-Photo 2010).

Reviewed by: Riki Paramita

IHSAHN (aka Vegard Svere Tveitan), sang komposer, produser, vokalis, dan musisi multi instrumen asal Norwegia ini kembali dengan karya musiknya yang avant garde melalui album terbarunya “Das Seelenbrechen” di tahun 2013 yang lalu, dengan tema yang masih di sekitar pemikiran Friedrich Nietzsche, sang filsuf Jerman. Ihsahn masih terobsesi dengan Nietzsche. Hal ini tentunya menjelaskan pemilihan judul album dalam bahasa Jerman, “Das Seelenbrechen” yang artinya kurang lebih “The Breaking of Soul.” Obsesi Ihsahn pada topik di sekitar pemikiran Nietzsche adalah seperti sebuah kelanjutan dari album terakhir sang solois yang dirilis pada 2012 yang lalu, yaitu “Eremita” (2012). Bahkan Ihsahn menggunakan foto Nietzsche (dalam pose terbalik) sebagai artwork untuk albumnya ketika itu. Bagaimana dengan “Das Seelenbrechen” sebagai karya terbaru dari sang maestro?

Ihsahn-Das Seelenbrechen

Secara garis besar Ihsahn menjelaskan: “What Nietzsche was saying is that the most beautiful kind of art is when the soul breaks.” “Das Seelenbrechen” adalah sebuah nyanyian ketika jiwa (seseorang) pecah berkeping-keping. Jadi apabila motivasi terbesar Ihsahn untuk meninggalkan Emperor, band Black Metal yang dibesarkannya sekaligus membesarkan namanya, adalah untuk keluar dari batasan musikalitas tertentu (dalam hal ini ‘batasan’ adalah dalam bentuk format bermusik Emperor), maka pada “Das Seelenbrechen” Ihsahn melakukan eksplorasi dengan lebih dalam lagi, melihat jauh ke dalam jiwanya sendiri, menjelajahi semua area kognitif yang ada, dan memformulasikan pendekatan musik yang tidak berbatas, dalam arti juga berusaha untuk keluar dari batasan yang dibuat oleh dirinya sendiri. Jadi, wahai para fans Emperor dan Black Metal, bersiaplah untuk sebuah album yang ‘sangat buruk’ dari sang maestro! Continue reading

Sebuah Retrospektif Metal: 13 Album Rilisan 2013 Berkategori ‘Must Have’ Versi beyondheavymetal.com (Bagian 2 dari 2)

Watain, band Black Metal asal Swedia ini merilis “The Wild Hunt” (2013) sebagai penegasan eksistensi mereka di skena Black Metal dunia. Siapa bilang band Black Metal tidak bisa membawa pulang sebuah Grammy Award? Foto: http://www.nocleansinging.com

Article written by: Riki Paramita

Tahun 2013 pun berlalu dengan sangat cepat. Tidak terasa kita sudah ‘kembali’ berada di penghujung bulan Desember. Atau barangkali hal ini hanya perasaan saya saja, bahwa sang waktu berlalu dengan begitu cepat meninggalkan beberapa agenda yang belum terlaksana sekaligus beberapa progress dan achievement yang sudah tercapai? Dan pada bulan Desember yang penuh dengan hujan dan angin ini (November rain, December storm? :-)) saya ingin melakukan sebuah restrospektif metal untuk tahun 2013 yang sebentar lagi akan berlalu. Berikut adalah album-album Metal rilisan 2013 yang menurut saya paling signifikan (in no order), yang secara efektif menjadi ‘tempat pelarian’ di tengah-tengah kerumitan proyek SAP ERP dan tumpukan literatur cloud computing, serta big data & analytics (bagian 2 dari 2 tulisan):

Album #8: WATAIN – The Wild Hunt

Continue reading

Sebuah Retrospektif Metal: 13 Album Rilisan 2013 Berkategori ‘Must Have’ Versi beyondheavymetal.com (Bagian 1 dari 2)

Deicide 2013

Deicide kembali dengan agresi old school Death Metal mereka melalui “In The Minds of Evil” (2013) yang walaupun dirilis mendekati holiday season, sudah pasti bukan merupakan Christmas album :-). Foto: http://www.metal-archives.com

Article written by: Riki Paramita

Tahun 2013 pun berlalu dengan sangat cepat. Tidak terasa kita sudah ‘kembali’ berada di penghujung bulan Desember. Atau barangkali hal ini hanya perasaan saya saja, bahwa sang waktu berlalu dengan begitu cepat meninggalkan beberapa agenda yang belum terlaksana sekaligus beberapa progress dan achievement yang sudah tercapai? Dan pada bulan Desember yang penuh dengan hujan dan angin ini (November rain, December storm? :-)) saya ingin melakukan sebuah restrospektif metal untuk tahun 2013 yang sebentar lagi akan berlalu. Terus terang, di 2013 ini rapor Metal saya tidak begitu bagus: tidak satupun gigs Metal yang saya hadiri di tahun ini, termasuk mega concert Metallica yang disebut-sebut sebagai sebuah pengalaman yang bersifat once in a lifetime. Satu2nya gigs yang saya hadiri hanyalah sebuah small stage gigs Roxx di Borneo Beerhouse pada awal Desember ini. Itupun masih harus berpacu dengan deadline pekerjaan sebagai konsultan Teknologi & Manajemen Sistem Informasi yang pada saat itu dapat saya selesaikan di sore hari, sehingga pada malam harinya saya bisa hadir di Borneo Beerhouse. Sekali lagi, aktivitas consulting dengan telak mengalahkan aktivitas Metal. But, I love consulting world. Barangkali kecintaan saya pada dunia consulting-lah yang membuat hari-hari saya terasa berlalu dengan cepat. Yes, it’s been fun and progressively elaborated! 🙂

Berikut adalah album-album Metal rilisan 2013 yang menurut saya paling signifikan (in no order), yang secara efektif menjadi ‘tempat pelarian’ di tengah-tengah kerumitan proyek SAP ERP dan tumpukan literatur cloud computing, serta big data & analytics. Continue reading

Resensi Klasik: GORGOROTH – “Quantos Possunt ad Satanitatem Trahunt” (2009)

Gorgoroth 2009

Gorgoroth formasi 2009: Frank Watkins (Bass), Infernus (Gitar), Skyggen (Gitar), Pest (Vokal), dan Vyl (Drums). Skyggen dan Vyl adalah additional musician untuk live session.

Gorgoroth-QPAST

Shortly Reviewed by: Riki Paramita

“Quantos Possunt ad Satanitatem Trahunt” (2009) menandakan era baru di Gorgoroth dimana sang founding father dan konseptor dari band ini, yaitu Infernus (aka Roger Tiegs) kembali memegang peranan yang signifikan dalam proses kreatif untuk penulisan lagu, komposisi musik, dan tema dari album. Sebelumnya, kurang lebih selama 8 tahun ke belakang driving forces di dalam tubuh Gorgoroth dipegang oleh duet Gaahl (aka Kristian Espedal) dan King ov Hell (aka Tom Cato Visnes) mulai dari penulisan lagu, komposisi musik, tema album, bahkan sampai proses kreatif di desain stage act (masih ingat Krakow gigs yang kontroversial?). Pasca perpisahan yang kisruh dengan Gaahl dan King ov Hell, Infernus kembali menghimpun kekuatan untuk menentukan arah Gorgoroth selanjutnya melalui album ini, “Quantos Possunt ad Satanitatem Trahunt” (untuk selanjutnya disebut dengan “QPAST”). Continue reading