MAYHEM “Wolf’s Lair Abyss” (EP, 1997): Sebuah Mata Rantai yang Terlupakan dari Sang Dewa Black Metal Norwegia

Mayhem 1997 1

Mayhem dengan formasi ‘reformasi’ di 1997: Rune “Blasphemer” Eriksen (Gitar), Jørn “Necrobutcher” Stubberud (Bass), Sven Erik “Maniac” Kristiansen (Vokal), dan Jan Axel “Hellhammer” Blomberg (Drum). Formasi ini merupakan keputusan bersama dari Jørn “Necrobutcher” dan Jan Axel “Hellhammer” untuk meneruskan Mayhem setelah kematian Øystein “Euronymous” Aarseth di tahun 1993.

Mayhem Wolfs Lair Abyss

Article written by: Riki Paramita

Cerita dimulai pada bulan Agustus 1993, kurang lebih 22 tahun yang lalu, di Norwegia yaitu di kota kecil Ski, 22 km dari Oslo. Øystein “Euronymous” Aarseth (Gitar) baru saja dimakamkan. Jørn “Necrobutcher” Stubberud (Bass) yang menghadiri pemakaman, diam seribu bahasa. Jørn sangat terpukul karena kepergian teman baiknya yang sangat tiba-tiba. Jørn “Necrobutcher” dan Øystein “Euronymous” adalah berteman baik, walaupun pada saat kepergian Euronymous hubungan mereka cenderung renggang. Jørn dan Øystein adalah ibarat John Lennon dan Paul McCartney versi Black Metal. Mereka selalu bersama, dan akan saling tukar pikiran mengenai aransemen musik yang sebelumnya sudah mereka rumuskan masing-masingnya, dan jadilah sebuah lagu! Begitulah kelahiran dari “Deathcrush” atau “Freezing Moon”. Sekarang Øystein sudah pergi. Sebelumnya Pelle (Per Yngve Ohlin, aka “Dead”. Vokalis) juga sudah terlebih dahulu meninggalkan Jørn, 2 tahun lebih awal (April, 1991). Jørn memang lebih berduka untuk Pelle ketimbang Øystein. Hubungan dengan Øystein memang cenderung sedang renggang: mereka bertengkar karena Øystein tidak memperlakukan Pelle secara terhormat di hari kematiannya. Øystein menjadikan kematian Pelle (yang meledakkan kepalanya sendiri dengan sebuah shotgun) sebagai sebuah publikasi murahan untuk Black Metal Norwegia. Sensasi khas tabloid. Jørn sangat marah dalam hal ini. Akibatnya Øystein pun tidak mengikutsertakan Jørn dalam proses rekaman debut album Mayhem. Øystein malah mengundang pemain bass tamu untuk rekaman: seorang pretty boy dengan kepribadian psychotic disorder, yaitu Kristian “Varg” Vikernes. Dan kita sudah sama-sama tahu bahwa ini adalah keputusan terburuk yang pernah diambil oleh Øystein “Euronymous” Aarseth, sang godfather untuk Norwegian Black Metal. Sang pretty boy justru adalah orang yang kemudian mengakhiri hidupnya.

Continue reading

DISSECTION “Storm of the Light’s Bane” (1995): Ketika Menjadi Melodius Adalah Berarti Menjadi Lebih Gelap dan Mengerikan

Dissection Band 1995

Dissection dengan formasi maestro di 1995: Jon Nödtveidt (Vokal, Gitar), Johan Norman (Gitar), Ole Öhman (Drum), dan Peter Palmdahl (Bass). Formasi ini (terutama karena kejeniusan bermusik Jon Nödtveidt) menghasilkan “Storm of the Light’s Bane” (1995) sebagai puncak karya mereka. Sebuah puncak yang tidak pernah lagi tercapai baik oleh Dissection sendiri maupun band lainnya.

Dissection Storm of the Lights Bane

Article written by: Riki Paramita

DISSECTION adalah sebuah nama besar tidak hanya di skena Black Metal Swedia, melainkan juga di skena Black Metal dunia secara global. Disanjung dan dipuji setinggi langit karena pendekatan Melodic Black Metal mereka yang inovatif sekaligus mengerikan, dan banyak menginspirasikan band-band sesudah mereka. Dissection juga mempunyai penjualan album yang relatif tinggi untuk ukuran Black Metal, ditambah dengan cerita-cerita miring di seputar band ini yang justru membuat status mereka menjadi semakin kvlt dan misterius. Cerita tentang Jon Nödtveidt dan Dissection tidaklah kalah miring apabila dibandingkan dengan cerita Mayhem atau band-band ‘jahat’ lainnya dari Norwegia. Jon Nödtveidt, sang gitaris dan vokalis Dissection, tidaklah hanya seorang musisi yang brilian dan produktif menghasilkan karya, melainkan juga sebuah pribadi yang sangat kontroversial: mulai dari keterlibatannya di Misanthropic Luciferian Order (MLO), terlibat kasus pembunuhan dan mendekam selama 6 tahun di penjara, sampai ke kematiannya yang seperti sebuah bunuh diri ritualistik di tahun 2006.

Continue reading

Sebuah Nyanyian Kegelapan dari Dunia Tolkien: Mengenang GORGOROTH “Antichrist” (1996)

Gorgoroth Band 1996

Gorgoroth Antichrist 2

Article written by: Supriyanto “Desecrator” (Kontributor untuk Beyondheavymetal.com)

GORGOROTH, sebagaimana kita ketahui adalah band yang sangat kontroversial baik dari sisi lirik, tema lagu, dan penampilan di atas panggung. Banyak orang melihat, menyimak dan mengetahui band ini sejak wawancara Kristian Espedal aka “Gaahl” bersama Sam Dunn pada salah satu bagian perjalanannya dalam proyek dokumentasi “Metal: a Headbanger’s Journey”, bahkan tak jarang sampai sekarang pun banyak orang yang menganggap bahwa Gaahl adalah masih vokalis Gorgoroth. Saya pribadi mengenal Gorgoroth agak terlambat. Seingat saya waktu itu saya melakukan mailorder video VHS, dan salah satu isi dari video VHS tersebut adalah Gorgoroth, kalau tidak salah “Live in Wacken 98”. Gorgoroth menyuguhkan penampilan yang cukup gahar, tanpa kompromi, dan waktu itu saya cenderung menyimpan VHS ini dan lebih menyimak video “World Domination” yang diisi band-band seperti Enslaved, Dark Tranquillity, dan lainnya.

Selang beberapa saat, saya akhirnya bisa menyimak beberapa karya Gorgoroth, mulai dari album “Pentagram” (1994), “Antichrist” (1996), “Under the Sign of Hell” (1997), sampai “Destroyer” (1998), bersamaan dengan ketertarikan saya pada band-band semacam Summoning, Abigor, dan lainnya. Disini ketertarikan saya adalah karena nama Gorgoroth mengingatkan saya pada nama daerah dataran tinggi di dongeng “Lord of the Rings” karya J.R.R Tolkien.

Continue reading

MARDUK “Heaven Shall Burn… When We are Gathered” (1996): Sebuah Cerita Perlawanan dari Kubu Extreme Black Metal Swedia

Marduk Band 1996 11

Marduk dengan formasi 1996: Erik “Legion” Hagstedt (Vokal), Morgan Steinmeyer Hakansson (Gitar), Roger “B-War” Svensson (Bass), dan Fredrik Andersson (Drum). Album “Heaven Shall Burn… When We are Gathered” adalah debut Erik “Legion” sebagai vokalis Marduk dan menandai lahirnya sebuah era: Legion Era!

Marduk Heaven Shall Burn

Article written by: Riki Paramita

“I think the Norwegians go more for the moods, while we go for the brutality” – Erik “Legion” Hagstedt

Kalender menunjukkan angka tahun 1995. Black Metal, atau tepatnya 2nd Wave Black Metal sedang mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, tidak hanya di skena Eropa akan tetapi juga di belahan dunia lainnya (termasuk Asia, dan juga Indonesia). Akan tetapi pertumbuhan Black Metal yang ditandai dengan kemunculan band-band baru dan produktivitas yang tinggi dalam menghasilkan karya adalah cenderung ke arah yang simfonik: mengikuti inovasi yang dilakukan oleh Emperor, Dimmu Borgir, atau Gehenna. Para dewa dari Norwegia ini menjadi kiblat dari band-band yang bermunculan pada periode tersebut dalam bermusik dan membangun gimmick. Symphonic Black Metal yang secara intensif menggunakan keyboards/ synthesizers dalam membangun nuansa atmospheric menjadi sebuah simbol dari kematangan dan kedewasaan musik Black Metal, dimana hal tersebut amatlah sangat sulit direpresentasikan melalui low fidelity Black Metal. Trilogi dari Darkthrone pada era tersebut sudah dianggap ketinggalan zaman, dan band seperti Darkthrone juga sudah kehabisan ide dan sangat miskin dalam hal inovasi (jangan membandingkan Fenriz dengan Ihsahn! 😀 ). Ditambah dengan sang godfather, yaitu Mayhem, yang pada saat itu sedang mengalami krisis identitas. Situasi bertambah keruh dengan virus Gothic yang semakin menggerogoti ‘kesehatan’ Black Metal, terutama lengkingan Dani Filth dari tanah Britania. Bagaimana dengan Death Metal? Band-band Swedia dalam hal ini mempunyai ‘dosa yang sangat besar’ terhadap kelahiran Melodic Death Metal atau seringkali disebut dengan Gothenburg sound. Band-band seperti In Flames, At the Gates, dan Dark Tranquillity mulai mengeluarkan karya-karya terbaik mereka. Singkat kata, skena Eropa tidak hanya menjadi simfonik melainkan juga melodius. Band-band yang mengusung speed dan brutality secara pelan namun pasti mulai terpinggirkan.

Continue reading

AMESOEURS “Amesoeurs” (2008): Sebuah Nyanyian Kehidupan Urban di Kala Mendung dan Hujan

Amesoeurs LP Cover 2

Cover dari album Amesoeurs ‘self-titled’ yang dirilis di tahun 2008. Album ini merupakan satu-satunya album dari kuartet asal Perancis ini, yang merupakan salah satu masterpiece untuk sub-genre Post Black Metal/ Shoegaze Black Metal.

Amesoeurs Band

Reviewed by: Riki Paramita

AMESOEURS adalah band yang berasal dari Avignon (Perancis), yang memainkan musik yang merupakan sebuah persenyawaan antara Black Metal, Post Punk, Shoegaze, dan Pop. Tidaklah cukup satu definisi untuk menceritakan musik Amesoeurs, karena musik mereka memang seperti mempunyai beberapa kepribadian. Kadangkala mereka terdengar seperti Burzum atau Darkthrone dalam bentuk mixing dan produksi yang sangat bersih. Pada kesempatan lain, mereka bisa muncul seperti The Cure atau Avril Lavigne dengan vokalis female yang terdengar seperti Frente dalam bentuk yang lebih mature dan murung. Jadi, secara garis besar kita dapat mendefinisikan musik Amesoeurs ke dalam 2 kategori, yaitu kategori ‘dark’ (gelap, dengan influence Black Metal) dan ‘light’ (terang, soft, tanpa influence Metal dan bahkan tanpa distorsi). Dimana masing-masing kategori ini secara luar biasa merepresentasikan emosi yang akan mengaduk-aduk perasaan pendengarnya. Kadang bernuansa sedih, murung, depresif, bahkan marah. Dan pada kesempatan lain ada nuansa nostalgia, ceria, dan penuh harapan. Suasana yang dibawakan oleh Amesoeurs adalah persis seperti yang digambarkan oleh cover album mereka yang sangat artsy: sebuah potret kehidupan urban di kota besar berikut dengan segala hingar bingar, tekanan, dan juga kegembiraan yang datang silih berganti. Seperti cuaca yang cenderung mendung dan hujan: hujan gerimis dan lebat, dan kemudian berhenti, dan kemudian menampilkan cahaya matahari yang menyeruak dari balik awan. Ya, dunia Amesoeurs adalah dunia kehidupan urban di kala mendung dan hujan. Melankolis, murung, sekaligus indah.

Continue reading

BELPHEGOR “Conjuring the Dead” (2014): Sebuah Album yang Lahir Setelah Mengintip dari Balik Tirai Kematian

Belphegor Band

Belphegor dengan formasi duet (2014): Helmuth Lehner (Vokal, Gitar), dan Vojtech R. “Serpenth” (Bass). Bersama-sama dengan musisi tamu lainnya, duet ini menghasilkan “Conjuring the Dead” sebagai album studio ke-10 dari sang raksasa Blackened Death Metal asal Austria, sekaligus sebagai album pertama setelah kesembuhan Helmuth Lehner dari komplikasi infeksi Typhus yang mematikan.

Belphegor Conjuring the Dead

Article written by: Riki Paramita

Helmuth Lehner: Mengintip dari Balik Tirai Kematian

Cerita tentang album BELPHEGOR “Conjuring the Dead” (2024) adalah mirip dengan cerita album “The Satanist” dari Behemoth apabila dilihat dari perspektif sang frontman/ konseptor: baik Helmuth Lehner (Belphegor, gitaris/ vokalis/ konseptor) maupun Adam “Nergal” Darski (Behemoth, gitaris/ vokalis/ konseptor) adalah sama-sama memenangkan perjudian mereka dengan sang maut pada saat masing-masing album masih dalam fase penulisan. Apabila Nergal berhasil sembuh dari penyakit Leukemia yang mematikan, maka Helmuth Lehner berhasil sembuh dari komplikasi infeksi Typhus akut yang membutuhkan operasi dan penyembuhan yang panjang (memakan waktu kurang lebih 8 bulan). Komplikasi Typhus yang diderita oleh Helmuth tidak hanya membuat paru-paru sang gitaris menjadi rusak, melainkan juga menimbulkan kerusakan hati (liver), jantung, dan menjalar ke organ tubuh lainnya sampai ke kaki. Secara fisik, Helmuth menjadi lumpuh dan sangat susah untuk menggerakkan badannya sendiri. Singkat kata, Helmuth Lehner benar-benar berada pada kondisi yang fuc#ed up! Infeksi Typhus ini didapat oleh Helmuth ketika Belphegor melakukan tur di Brazil pada tahun 2011. Akibatnya, sisa tur di Amerika Selatan harus dibatalkan dan Helmuth langsung diterbangkan ke kampung halamannya di Austria untuk menjalani perawatan medis intensif. Praktis selama perawatan yang seadanya di Amerika Selatan dan dalam perjalanan menuju Austria, Helmuth berada pada kondisi yang mirip dengan sebuah koma. Helmuth Lehner seolah-olah diberikan kesempatan untuk mengintip dari balik tirai kematiannya sendiri.

Continue reading