Sebuah Panggung Imajiner: ‘The Big 4 of Death Metal’ Versi Beyondheavymetal.com (Bagian 2 dari 4 Tulisan)

Deicide 2011 2

Deicide dengan formasi terdahsyat pasca kepergian Brian & Eric Hoffman: Steve Asheim (Drum), Glen Benton (Vokal, Bass), Ralph Santolla (Gitar), dan Jack Owen (Gitar). Formasi ini menghasilkan “The Stench of Redemption” (2006) yang seringkali disebut setara dengan album mereka di 90-an. Foto: http://www.yellmagazine.com.

Article written by: Riki Paramita

Artikel ini adalah bagian 2 dari 4 bagian mengenai band2 yang termasuk ke dalam ‘The Big 4’ untuk kategori Death Metal menurut Beyondheavymetal.com. Subjektif? Tentu saja dalam hal ini subjektivitas akan sangat berperan. Akan tetapi keanekaragaman pendapat di sini adalah hal yang sangat wajar yang justru merupakan salah satu keindahan di dalam sebuah komunitas atau skena (Death) Metal karena hal ini mencerminkan keanekaragaman preferensi dan sudut pandang dari para stakeholder (Death) Metal dimana pada akhirnya akan dapat saling mengisi satu sama lainnya. Seperti halnya genre/ sub-genre musik yang lain, atau bahkan musik secara universal, Death Metal adalah sebuah art. Sebuah legitimate art. Jadi akan relatif susah untuk mengidentifikasikan entity2 yang kita anggap terbaik di bidang yang secara naturnya bukanlah sebuah kompetisi. Kurang lebih analoginya adalah dengan mencoba mengidentifikasikan siapakah yang lebih baik diantara Picasso, Goya, atau Van Gogh. Mozart, Bach, atau Hayden? Adalah relatif susah untuk mengkuantifisir hal yang lebih banyak faktor kualitatifnya. Bersama ini saya ingin menambah polemik dan kontroversi dengan mencoba mengidentifikasikan ‘The Big 4’ untuk genre/ sub-genre Death Metal :-). Dimana pemilihan band2 untuk kategori ini adalah didasarkan pada 6 parameter, yaitu:

  1. Band yang bersangkutan masih aktif dan masih terlihat essential di skena Death Metal dunia (active & currently essential).
  2. Pioneer in Death Metal: band yang bersangkutan sudah sangat aktif mengeluarkan album di era kelahiran Death Metal pada akhir 80-an dan awal 90-an.
  3. Faktor orisinalitas dan inovasi untuk genre/ sub-genre Death Metal (originality & innovation factor).
  4. Dalamnya pengaruh atau legacy yang ditinggalkan oleh band tersebut di genre/ sub-genre Death Metal (influence & legacy factor).
  5. Kesuksesan album2 band tersebut secara finansial (selling factor). Death Metal bukanlah sebuah genre dengan semangat ‘selling’, akan tetapi masihlah penting untuk melihat faktor ini sebagai complementary dari faktor nomor 4 dimana dalam hal ini adalah ‘selling’ dalam skala Death Metal tentunya.
  6. Crowd factor: tidaklah dapat disebut sebagai ‘The Big 4’ apabila tidak dapat mendatangkan crowd. Sekali lagi, tentunya hal ini dalam skala Death Metal.

Metode pemilihan untuk band2 ‘The Big 4 of Death Metal’ ini adalah bersifat sangat kualitatif dimana secara garis besar sangat dipengaruhi oleh (sekali lagi) preferensi, sudut pandang, dan pemahaman saya pribadi. Baiklah, kita akan lanjutkan dengan band #3 yaitu band yang akan tampil di urutan kedua di panggung imajiner ini. Sebuah posisi yang pada ‘The Big 4 of Thrash Metal’ diduduki oleh Megadeth.

Band #4: DEICIDE

Deicide? Kenapa Deicide? Saya mengerti bahwa di kalangan publik Death Metal sekalipun bisa jadi mempunyai pendapat yang sangat berbeda mengenai Deicide. Deicide adalah band yang berperan besar dalam menentukan arah Death Metal di periode awal melalui sound mereka yang orisinal: Death Metal dengan ketukan cepat, tanpa kompromi, dengan gemuruh double bass dan didominasi blast beats, riffing dan solo gitar yang terdengar evil, dan vokal growl Glen Benton yang sangat khas. Vokal Glen Benton adalah salah satu dari sedikit karakteristik vokal di area Death Metal yang sangat dikenal oleh para fans Death Metal, dimana dalam hal ini Glen berdiri sejajar dengan Chris Barnes atau John Tardy. Glen Benton dan Deicide meletakkan dasar-dasar yang sangat kuat untuk derivatif Death Metal yang cepat, tanpa kompromi, dengan karakteristik blasphemy yang sangat kuat. Apabila Suffocation adalah cenderung teknikal, maka Deicide adalah cenderung ‘marah’ dan ‘emosional.’ Sebuah band yang ‘berbahaya’ di domain Death Metal yang tidak hanya berkonflik dengan organisasi keagamaan dan publik secara umum, melainkan juga dengan sesama stakeholder Extreme Metal (masih ingat konflik Glen & Deicide dengan Jeremy Wagner & Broken Hope? Atau Glen & Deicide versus skena Black Metal Norwegia? :-)). Jadi adalah wajar kalau di kalangan publik Death Metal ada yang mencaci dan/ atau menyanjung Deicide. Akan tetapi pada umumnya publik Death Metal akan satu suara dalam berpendapat bahwa 2 sampai 4 album pertama Deicide adalah sebuah breakthrough di genre/ sub-genre Death Metal.

Deicide-In The Minds of Evil

Deicide “In The Minds of Evil” (2013): yang terbaik sejak “The Stench of Redemption” (2006).

Active & currently essential: Deicide memang sudah mengalami penurunan, terutama setelah kepergian Brian & Eric Hoffman pasca “Scars of the Crucifix” (2004). Deicide kemudian sempat membuat gebrakan paling besar sejak 4 album pertama mereka (1997) yaitu melalui album “The Stench of Redemption” (2006) yang merupakan sebuah hibrid antara agresivitas mereka di era-era awal dengan technicalities dengan level maestro di sektor gitar. Kehadiran Jack Owen dan terutama Ralph Santolla di sektor gitar benar2 memberikan perbedaan dalam karakteristik musik Deicide. Sayang momentum ini tidak dapat dilanjutkan dengan baik melalui 2 album berikutnya, dimana Deicide kembali terjebak dalam kemonotonan dan kevakuman kreativitas. Kembalinya Ralph Santolla di “To Hell with God” (2011) tidak dapat mengangangkat posisi Deicide dari keterpurukan. Hubungan dengan Ralph kemudian memburuk dan keluar masuknya Ralph di Deicide menemui akhirnya pada 2011 dimana Ralph secara permanen digantikan Kevin Quirion. Kuartet Glen Benton, Steve Asheim, Jack Owen, dan Kevin Quirion kemudian menghasilkan album “In the Minds of Evil” pada 2013 yang lalu. Album ini bukanlah rilisan terkuat mereka, akan tetapi merupakan album paling representatif sejak “The Stench of Redemption” (2006). Deicide memang bukan dalam kondisi terbaik mereka, akan tetapi masih sangat aktif dan masih merupakan entity yang sangat penting di skena Death Metal dunia.

Deicide Self Titled

Deicide “self titled” (1990): sebuah album Death Metal yang sangat mengerikan pada zamannya. Klasik.

Pioneer in Death Metal: Glen Benton (Vokal & Bass), Steve Asheim (Drum), dan duet gitaris bersaudara Brian & Eric Hoffman pertama kali jamming bersama dan membentuk sebuah band adalah pada tahun 1987 (sebagai “Amon” yang kemudian berganti nama menjadi “Deicide” pada 1989). Sebuah periode yang merupakan hari-hari pertama kelahiran Death Metal. Debut album mereka (self titled, aka “Medallion”) sudah menunjukkan tingkat agresivitas yang jauh lebih tinggi ketimbang literatur2 awal Death Metal pada saat itu seperti Death “Scream Bloody Gore” (1987) dan “Leprosy” (1988), atau Obituary “Slowly We Rot” (1989). Deicide eksis pada hari-hari pertama Death Metal dan secara signifikan membuat arah yang relatif berbeda yaitu Death Metal yang lebih brutal dan cepat.

Deicide-Legion

Deicide “Legion” (1992): berperan besar dalam mendefinisikan arah Death Metal ke arah yang lebih cepat , brutal, dengan karakter evil yang kuat. Sebuah album dari neraka.

Innovation factor: seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Deicide bukanlah band yang mengkedepankan technicalities pada musik mereka. Deicide memformulasikan technicalities dalam porsi yang lebih sedikit ketimbang (misalnya) Suffocation. Musik Deicide tidaklah serumit Suffocation akan tetapi mempunyai sound yang terdengar lebih brutal dan emosional. Musik Deicide adalah sebuah formulasi dengan dosis yang tepat antara riffing gitar old school dengan gemuruh double bass & blast beats, dan vokal growl yang cenderung evil dengan lirik blasphemy yang konsisten. Deicide berperan besar dalam meletakkan fondasi untuk varian Brutal Death Metal dan beberapa aspek Black Metal. Black Metal? Begini, Deicide sudah terlebih dahulu konsisten membangun evil image dengan gigs yang berdarah-darah (dalam arti sebenarnya) jauh sebelum Mayhem “Live in Leipzig” (1993) atau Gorgoroth “Black Mass Krakow” (2004). Perseteruan Deicide dengan skena Norwegia adalah lebih untuk argumen siapa sebenarnya yang paling evil. Pernyataan dari skena Norwegia bahwa Norwegian Black Metal adalah sebuah jawaban terhadap eksistensi American Death Metal yang fake justru semakin menegaskan bahwa sebenarnya inovasi adalah dimulai dari Florida dan sekitarnya, dimana Deicide adalah adalah salah satu innovator yang paling signifikan.

Originality factor: Deicide adalah Deicide. Ketika Deicide self titled (1990) dan “Legion” (1992) pertama kali dirilis, telinga yang paling ekstrim sekalipun akan mengalami trauma ketika mendengarkan album-album ini untuk pertama kalinya. Pada hari itu tidak ada Death Metal yang lebih menakutkan selain Deicide. Musik Deicide adalah sangat orisinal dan menjadi literatur untuk aksi-aksi Death Metal yang brutal dan evil.

Influence & legacy factor: album2 Deicide seperti self titled (1990), “Legion” (1992), “Once Upon the Cross” (1995), dan “Serpents of the Light” (1997) adalah karya2 abadi di skena Death Metal dunia. Album2 klasik yang seringkali dijadikan literatur oleh band2 Death Metal lainnya dalam mencari inspirasi dan berperan besar dalam menjadikan Death Metal menjadi semakin ekstrim dan evil. Sub-genre Blackened Death Metal yang muncul belakangan sedikit banyak juga dipengaruhi oleh karya2 Deicide.

Deicides 2013 2

Deicide dengan formasi 2014: masihlah sangat kuat sebagai salah satu yang terbesar di skena Death Metal dunia.

Selling factor: ini adalah salah satu faktor yang menjadikan posisi Deicide kokoh berada di posisi 3 ‘The Big Four of Death Metal’ versi Beyondheavymetal.com. Deicide tidak hanya band yang evil, brutal, kontroversial, akan tetapi juga bisa ‘menjual’. Deicide adalah salah satu dari sedikit band Death Metal yang mempunyai kesuksesan yang bersifat mainstream dalam hal penjualan album. Menurut Wikipedia, Deicide self titled (1990) mempunyai angka penjualan sekitar 110.000 copies, “Legion” (1992) sebanyak kurang lebih 100.000 copies, “Once Upon the Cross” (1995) sebanyak 86.000 copies, dan “Serpents of the Light” (1997) sebanyak 53.000 copies. Angka2 ini adalah cukup fantastis untuk skala Death Metal. Album2 Deicide berikutnya mempunyai angka penjualan yang lebih kecil, akan tetapi posisi Deicide sudah kadung kokoh sebagai band ekstrim yang sangat ‘menjual’.

Crowd factor: aksi Glen Benton dan kawan2 di atas panggung memang tidaklah lagi sama dengan hari2 di era yang terdokumentasikan dengan “When Satan Lives” (1998), dimana Deicide bermain mendekati sempurna, dengan hampir tidak ada perbedaan antara live dengan album studio. Hari2 itu sudah lama berlalu. Glen Benton juga kadangkala terlihat tidak cukup fit untuk tampil sebagai frontman Deicide. Glen benton, Jack Owen, dan Kevin Quirion cenderung untuk bermain efisien, sementara Steve Asheim masih terlihat sangat powerful di belakang drum kit. Crowd factor? Jangan khawatir, Deicide adalah band Death Metal dengan kesuksesan mainstream. Nama Deicide masih merupakan magnet untuk para old schooler.

Berdasarkan parameter-parameter di atas, maka Beyondheavymetal.com menempatkan Deicide sebagai salah satu dari ‘The Big 4 of Death Metal’ dengan urutan #3. Siapakah yang akan menempati urutan #2? Topik ini akan dibahas pada bagian 3 dari tulisan ini.

Bersambung ke bagian 3.

Leave a comment