Sebuah Inovasi Prematur pada Norwegian Black Metal: Mengenang MAYHEM “Grand Declaration of War” (2000)

Rune Blasphemer Eriksen

Rune “Blasphemer” Eriksen on stage. Album Mayhem “Grand Declaration of War” (2000) adalah hasil karyanya sebagai gitaris dan songwriter di Mayhem, sebagai upaya untuk memperluas sound dari Norwegian Black Metal.

Mayhem Grand Declaration of War 2000

Article written by: Riki Paramita

“Innovation is the creation of viable new offerings” – Larry Keeley (from “The Ten Types of Innovation”, 2013, Deloitte Development LLC).

Norwegian Black Metal atau 2nd Wave Black Metal adalah sebuah inovasi di dalam Extreme Metal, dengan memunculkan beberapa differensiasi pada genre dan sub-genre yang sudah terlebih dahulu eksis, seperti New Wave of British Heavy Metal dan turunannya yang mempunyai sound lebih ekstrim seperti album2 milik Venom, Bathory, atau Celtic Frost. Norwegian Black Metal memenuhi persyaratan untuk disebut sebuah inovasi musik, yaitu diantaranya: new offerings (sound Norwegian Black Metal adalah sangat berbeda dengan para pendahulunya, plus gimmick dan stage act yang digarap dengan sangat serius), menciptakan market yang baru (baik yang sama sekali baru maupun yang sudah ada pada genre atau sub-genre sebelumnya), sustainable/ berkelanjutan (sampai sekarang Black Metal masih ada dan masih ‘menjual’ pada skala niche market), dan profitable (berhubungan dengan sustainability yang dijelaskan sebelumnya, dengan skala niche market).  Seperti halnya sebuah inovasi musik, karya-karya berikutnya dari Norwegian Black Metal membutuhkan semacam benchmark atau album-album yang dijadikan sebagai blueprint. Dua album yang berada pada kategori paling berpengaruh di jalur ini adalah Darkthrone “A Blaze in The Northern Sky” (1991) dan Mayhem “De Mysteriis dom Sathanas” (1994). “A Blaze in The Northern Sky” dari Darkthrone begitu dihormati karena inilah album full length pertama di jalur Norwegian Black Metal. Sementara “De Mysteriis dom Sathanas” milik Mayhem begitu dipuja karena sosok Mayhem yang seringkali dianggap sebagai band yang mendefinisikan sound Norwegian Black Metal untuk pertama kalinya. Darkthrone merubah jalur bermusiknya dari Death Metal ke Black Metal adalah karena pengaruh Mayhem (atau lebih tepatnya, pengaruh dari sang gitaris, Øystein “Euronymous” Aarseth).  Kiblat bermusik yang begitu berpusat kepada album-album berkategori kvlt seperti ini menjadikan Norwegian Black Metal mempunyai semakin banyak pengikut, akan tetapi sound yang dihasilkan adalah cenderung untuk monoton karena begitu berkiblat pada album yang itu-itu saja. Necro sound, raw production. Grieghallen & Pytten style. Band yang keluar dari jalur ini akan ramai2 dihujat sebagai not trve atau fake. Norwegian Black Metal pada saat itu cenderung stagnan. Pada akhir 90-an dan awal 2000-an, para musisi Norwegian Black Metal mulai berpikir untuk ekspansi: memperluas definisi Norwegian Black Metal dengan mengeksplorasi sound2 yang baru. Salah satunya adalah Mayhem, sang godfather, yang paling trve dari seluruh True Norwegian Black Metal. Continue reading

SATYRICON – “Satyricon” (Self Titled, 2013): Sebuah Evolusi Ekstrim dari Salah Satu Pionir ‘True Norwegian Black Metal’

Satyricon Band 2013

Satyricon S:T 2013

Reviewed by: Riki Paramita

Kurang lebih sudah 18 tahun berlalu sejak “Nemesis Divina” yang menjadi open statement dari eksistensi Norwegian Black Metal, dimana cukup satu track (“Mother North”) untuk menjelaskan motif utama dari kelahiran 2nd wave Black Metal di ranah Norwegia pada awal 90-an. Saya yakin, bahwa saya dan fans Black Metal lainnya sepakat bahwa “Nemesis Divina” adalah salah satu all time greats untuk kategori album Black Metal, dan Satyricon adalah termasuk ke dalam kelompok innovator untuk genre ini. “Walk The Path of Sorrow” dari “Dark Medieval Times” (1994) adalah sebuah track yang membuat saya menjadi fans Black Metal di 90-an dulu, menjadikan Floridian Death Metal sebagai ‘pilihan kedua.’ Jadi dapat dibayangkan bagaimana arti album masterpiece seperti “Nemesis Divina” (1996) bagi saya. Akan tetapi, Satyricon ternyata menunjukkan karateristik mereka sebagai band yang selalu mengeksplorasi sound yang baru di setiap album mereka. “Rebel Extravaganza” (1999) adalah salah satu kekecewaan terbesar saya sebagai fans Black Metal. Akan tetapi sampai “The Age of Nero” (2008) sekalipun saya tidak pernah berhenti berharap bahwa Satyricon akan kembali ke sound mereka seperti di “Nemesis Divina” (1996). Melalui album terbaru mereka yang self titled yang dirilis di 2013 yang lalu, saya pun sadar bahwa saya sudah harus menerima arah musik Satyricon yang cenderung untuk mengeksplorasi teritori2 yang baru dimana hal ini sepertinya juga menjadi bagian dari perkembangan berikutnya dari Norwegian Black Metal. Neo Black Metal, atau Modern Black Metal. “Nemesis Divina” (1996) adalah sebuah masa lalu, dan Satyricon self titled adalah salah satu bentuk yang masterpiece dari evolusi ekstrim dari True Norwegian Black Metal. Continue reading

IHSAHN – “Das Seelenbrechen” (2013): Sebuah Nyanyian Ketika Jiwa Pecah Berkeping-keping

Ihsahn Promo Photo

Ihsahn, sang musisi multi instrumen & multi talenta asal Norwegia dengan latar belakang Black Metal yang sangat dalam. Foto: Ihsahn Official Facebook (Promo-Photo 2010).

Reviewed by: Riki Paramita

IHSAHN (aka Vegard Svere Tveitan), sang komposer, produser, vokalis, dan musisi multi instrumen asal Norwegia ini kembali dengan karya musiknya yang avant garde melalui album terbarunya “Das Seelenbrechen” di tahun 2013 yang lalu, dengan tema yang masih di sekitar pemikiran Friedrich Nietzsche, sang filsuf Jerman. Ihsahn masih terobsesi dengan Nietzsche. Hal ini tentunya menjelaskan pemilihan judul album dalam bahasa Jerman, “Das Seelenbrechen” yang artinya kurang lebih “The Breaking of Soul.” Obsesi Ihsahn pada topik di sekitar pemikiran Nietzsche adalah seperti sebuah kelanjutan dari album terakhir sang solois yang dirilis pada 2012 yang lalu, yaitu “Eremita” (2012). Bahkan Ihsahn menggunakan foto Nietzsche (dalam pose terbalik) sebagai artwork untuk albumnya ketika itu. Bagaimana dengan “Das Seelenbrechen” sebagai karya terbaru dari sang maestro?

Ihsahn-Das Seelenbrechen

Secara garis besar Ihsahn menjelaskan: “What Nietzsche was saying is that the most beautiful kind of art is when the soul breaks.” “Das Seelenbrechen” adalah sebuah nyanyian ketika jiwa (seseorang) pecah berkeping-keping. Jadi apabila motivasi terbesar Ihsahn untuk meninggalkan Emperor, band Black Metal yang dibesarkannya sekaligus membesarkan namanya, adalah untuk keluar dari batasan musikalitas tertentu (dalam hal ini ‘batasan’ adalah dalam bentuk format bermusik Emperor), maka pada “Das Seelenbrechen” Ihsahn melakukan eksplorasi dengan lebih dalam lagi, melihat jauh ke dalam jiwanya sendiri, menjelajahi semua area kognitif yang ada, dan memformulasikan pendekatan musik yang tidak berbatas, dalam arti juga berusaha untuk keluar dari batasan yang dibuat oleh dirinya sendiri. Jadi, wahai para fans Emperor dan Black Metal, bersiaplah untuk sebuah album yang ‘sangat buruk’ dari sang maestro! Continue reading