Article Written by: Riki Paramita
Catatan: versi original dari artikel ini pernah di-posting di mailing list i-Rock!, pada 6 Juni 2007 menjelang konser Sodom di Jakarta.
Ruhr – Gelsenkirchen, Jerman Barat, 1980: Ruhr, sebuah kota kecil yang terletak di antara Essen dan Bochum, adalah salah satu kota industri yang menyokong sistem industri di tanah Bavaria. Ruhr mensuplai industri di negara Jerman Barat (1980, masih Jerman Barat) dengan hasil tambangnya yang melimpah, seperti batu bara dan biji besi. Masyarakat di kota tsb secara garis besar masih bersifat komunal, yang ditandai dengan sedikitnya keberagaman profesi dan cara hidup; tidak mengherankan, karena sebagian besar penghuni kota kecil ini berprofesi sebagai pekerja tambang. Profesi yang sejak revolusi industri di Jerman, diwariskan turun temurun oleh seorang bapak ke anaknya, anaknya ke anaknya lagi, dan seterusnya. “Inherited fate” ini terjadi dari satu generasi ke generasi seterusnya. Singkat kata, masyarakat di kota Ruhr ini seperti terbelenggu dengan rutinitas, pola pikir, dan bahkan “takdir” mereka sebagai pekerja tambang. Sepertinya tidak ada jalan lain untuk hidup. Memang, sebenarnya ada jalan lain, seperti menjadi pemain sepakbola. Kota ini adalah markas salah satu tim sepakbola kondang di Bundesliga, yaitu FC Schalke 04. Tetapi kompetisi untuk menjadi pemain sepakbola yang sukses tidaklah gampang, apalagi di negara yang pada saat itu sudah 2 kali menjadi juara dunia sepakbola (1954 dan 1974). Alhasil, menjadi pekerja tambang adalah sebuah jalan hidup yang banyak dipilih oleh penduduk Ruhr, sebuah jalan yang tidak menawarkan apa-apa, sebuah profesi yang disebut-sebut sebagai dead-end, akan tetapi juga secara tidak sadar menjadi sebuah comfort zone bagi sebagian besar penduduk Ruhr. Keinginan untuk berubah amatlah sangat minim pada saat itu.

Di tengah-tengah masyarakat seperti inilah Thomas Sucht dibesarkan. Thomas, yang biasa dipanggil Tom, pada umur yang masih belasan tahun sudah menjadi seorang pekerja mekanik di tambang. Tom yg baru berusia 17 (kelahiran 1963), sehabis sekolah, langsung absensi pada salah satu sektor tambang dimana dia bekerja sebagai mekanik untuk satu shift, dan pada malam harinya hang-out di klub2 setempat bersama dengan pekerja2 lainnya. Having some beers & listen to some music. Tom, seperti banyak anak2 muda seusianya menyukai musik, mostly metal. Tom menjadi fans berat untuk band2 yang terutama berasal dari New Wave of British Heavy Metal. Iron Maiden, Judas Priest, Saxon, dan terutama Venom. Ketika mendengarkan “Welcome to Hell” (Venom) untuk pertama kalinya, Tom terkesima “Whoa, this can’t be true!”, pikirnya. Mendengarkan band2 tsb ‘bernyanyi’ di tape bututnya adalah pelarian Tom dari frustasi-frustasi yang dirasakannya pada kehidupan sehari-hari – loneliness, poverty, dan keinginan yang kuat untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. “Pelarian” ini dilakukan di sanctuary-nya yaitu kamarnya sendiri yang sempit dan dipenuhi oleh poster band2 tadi, terutama Conrad “Chronos” Lant & friends (Venom). Chronos, bassist Venom, adalah idola Tom. Sosok Chronos mewakili semangat pemberontakan Tom terhadap pola pikir, tradisi, dan budaya di kota Ruhr yang seolah-olah membelenggu takdir dan kehidupannya. Setiap pembicaraan dimana Tom mengungkapkan isi hatinya yang menginginkan perubahan, teman2nya selalu bilang “Ah sudahlah, drink your beer & go home. Besok kita masih harus masuk kerja.” Akan tetapi semangat perubahan itu tidak pernah mati di hati seorang Thomas Sucht.
Sampai pada suatu hari, pada sebuah hari libur, Tom melihat sebuah gitar bass yang dijual dengan harga discount pada sebuah toko musik lokal. Tom menghampiri toko tsb, melihat2 gitar bass buatan Jepang itu, bergumam dalam hati “Wah, ini adalah instrumen yang dimainkan oleh Chronos!”, dan kemudian membuat sebuah keputusan penting. Tom bergegas pulang, mengambil seluruh tabungannya yg ditabung dari gaji sebagai pekerja tambang, dan membeli gitar bass murahan tadi berikut ampli-nya. Ketika ditanya apakah gitar bass-nya mau dicoba dulu, Tom menjawab “Tidak usah dicoba, saya juga tidak tahu cara memainkan instrumen ini. Saya hanya menginginkannya. I just want it!” Pada saat itu barangkali hati dan emosi lebih banyak berbicara ketimbang rasionalitas. Tom kemudian pulang sambil menyandang gitar bass tsb pada punggungnya dan menenteng ampli pada tangan kanannya. Teman2nya yang melihat Tom dengan barang bawaannya tsb berkomentar dengan nada yang nyaris sama “…si Tom sudah menjadi gila…” Padahal nun jauh di dalam hatinya, seorang Thomas Sucht sudah membulatkan tekad dan hatinya, bahwa gitar bass murahan ini akan menjadi kendaraan dia untuk keluar dari ‘takdirnya’ di kota Ruhr. “Gitar bass murahan ini akan menjadi awal dari sesuatu yang besar, saya akan bermain lebih keras dari Venom, lebih brutal dari Slayer, dan lebih cepat dari Metallica! *) Mulai sekarang saya adalah Tom Angelripper, seorang bassist sekaligus vokalis, seperti Chronos, dan band saya akan mengambil nama dari the ultimate city of sin: SODOM !”

Tidak lama setelah hari itu, tahun 1982, seiring dengan pertemuan Tom dengan beberapa rekan yang dianggap tepat, lahirlah sebuah band yang akan menggoreskan sejarah yang cukup signifikan di dunia Metal, Sodom! Pada 1983, Sodom merilis demo album pertama (“Witching Metal”), dan setelah itu secara konsisten menghasilkan tidak kurang dari 38 rilisan, yang terdiri dari album studio, album live, EP, dan DVD, dalam rentang waktu tidak kurang dari 30 tahun. Sodom menjadi salah satu dari sedikit band yang eksis selama lebih dari 30 tahun (since ’82)! Lebih dari seperempat abad memainkan Metal! Sodom menjadi influence banyak band, tidak hanya di tanah Bavaria saja tetapi juga di seluruh kontinen di planet ini. Menjadi band Thrash Metal pertama yang masuk Top 40 di Music Chart Jerman. Sodom juga menjadi salah satu jawaban Jerman terhadap The Big 4 Thrash Metal heroes versi AS (Anthrax, Megadeth, Slayer, Metallica) yaitu dengan menjadi bagian dari The Big Teutonic (German) 4 bersama-sama dengan Kreator, Destruction, dan Tankard.

Thomas Sucht sudah berhasil keluar dari “takdirnya” sebagai pekerja tambang dan menjadi ikon pada dunia musik metal. Dan kalau ditelusuri, semuanya berawal dari hal yang sepele, yaitu keputusan Tom untuk membeli sebuah gitar bass, berhenti sebagai pekerja tambang, dan mulai bermusik dengan konsisten, penuh dedikasi, dan tentu saja, bekerja keras. But, kali ini bekerja keras untuk bidang yang dicintainya. If your heart is in it, and then the sky will be the limit, begitu kata orang bijak.
Saya percaya, sebagian dari kita sudah menemukan dan sebagian lagi masih harus mencari “gitar bass”-nya masing2. Sebuah simbol yang merupakan persimpangan jalan untuk berubah (to change) dan menghasilkan suatu karya (creation) yang besar atau perubahan (the change) yang besar, ketimbang mempertahankan kondisi status quo yang seringkali menjebak kita dengan comfort zone-nya. “Gitar bass” ini bisa jadi muncul dalam bentuk yang beraneka ragam; bisa jadi berupa scholarship untuk master degree atau doctorate, kesempatan kuliah di universitas pilihan, sebuah job training yang representatif, kesempatan menjadi entrepreneur, sebuah project yang menjadi stepping stone untuk project selanjutnya, mendapatkan job yang tepat, kesempatan rekaman di Nuclear Blast atau Earache, kesempatan tampil sepanggung dengan band idola, kesempatan untuk ikut SAP Academy, kesempatan untuk merger dengan perusahaan rekanan yang sangat potensial, kesempatan ikut sertifikasi CCNA atau MCSE, tawaran mengerjakan aplikasi Business Intelligence di Dubai, pertemuan dengan your soulmate, atau bahkan bisa jadi dalam bentuk pertemuan dengan teman-teman dan lingkungan yang tepat. Once you see your own “bass guitar”, take it, and never look back. It’s a choice of your life.
I learn a lot from Tom Angelripper, God bless you Thomas!
*) Ini adalah sesuai dengan cerita Tom Angelripper sendiri pada sebuah wawancara yang dapat dilihat di DVD “Lords of Depravity (Part 1).” Material Slayer dan Metallica yang didengarkan oleh Tom pada tahun segitu sepertinya adalah demo tape untuk “Show No Mercy” (Slayer) dan “No Life ‘Til Leather” (Metallica).
BeyondHeavyMetal Lessons Learned:
Beberapa kutipan kata-kata dari para maestro yang sejalan dengan tema artikel di atas (Manajemen Perubahan):
- “Life is a bunch of choices, what you are today are created by choices you made in the past.” – anonymous
- “The measurement of intelligence is the ability to change.” - Albert Einstein
- “What we can or cannot do, what we consider possible or impossible, is rarely a function of our true capability. It is more likely a function of our beliefs about who we are. “ – Anthony Robbins
Terminologi di bidang keilmuan manajemen yang berhubungan dengan artikel di atas: dead end, comfort zone, resistant to change/ willingness to change, risk averse/ risk taker, critical decision/ strategic decision, passion/ devotion, core competence, influence, role model, innovation, strategic alliance.

